18 April 2011

Tujuan Perusahaan Dalam Perspektif


Oleh: Dani dan Aji M

Tujuan Perusahaan Dalam Perspektif
I.Pengantar

Ekonomi sebenarnya adalah studi tentang perikalu tentang manusia sebagai pelaku konsumsi dan produksi. Kemudian factor yang penting dalam menentukan perilaku manusia adalah system nilai yang di paktekkan. Kerenanya penting untuk mengetahui dan memperhatikan nilai tersebut.

Kerangka teoritis, ekonomi telah berkembang menjadi sebuah bidang disiplin positif yang tidak memiliki segala konten normatif. Objek pembahasannya adalah sebuah hipotesis yang disebut 'pelaku ekonomi' yang diharapkan untuk berperilaku seperti apa yang diinginkan oleh ekonom. Alasan untuk menggunakan pendekatan ini adalah dua hal: Pertama, ekonomi mampu menghindari keragaman objek dengan yang seharusnya mereka hadapi. Kedua, pola perilaku manusia ekonomi sesuai dengan prediksi ekonomi.
Norma-norma Islam dan nilai-nilai lokalitas dan melampaui batas-batas waktu, budaya serta hambatan rasial. Bidang ekonomi tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai universal tersebut. karena itu, ini yang membedakan ekonomi konvesional dari perspektif Islam.

Makalah ini sebenarnya mencoba untuk melihat perilaku dari produsen atau perusahaan yang merupakan salah satu pelaku ekonom `konstruksi`. Kemudian perusahaan sebagai agen ekonomi dalam teori konvensional dan membandingkan perannya dalam syariah. Kedua, tujuan memaksimalkan keuntungan perusahaan. Ketiga berkaitan dengan tujuan perusahaan dalam suatu sistem Islam


II. Pembahasan

A. Memaksimalkan Keuntungan Tujuan Perusahaan

1 Perusahaan sebagai Pelaku Ekonomi
Perusahaan adalah organisasi yang dikembangkan oleh seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang dilakukan rumah tangga perusahaan meliputi kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi.
Perusahaan adalah tempat berlangsungnya proses produksi. Dengan demikian, kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan adalah kegiatan produksi (menghasilkan barang). Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa perusahaan adalah pelaku ekonomi yang berperan sebagai produsen.

2 Teknis Efisiensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi didefinisikan sebagai hubungan antara barang dan jasa yang dihasilkan dengan sumber daya yang dipakai untuk memproduksi. Perusahaan dapat dikategorikan efisien tergantung dari cara manajemen memproses input menjadi output. Perusahaan yang efisien adalah perusahaan yang dapat memproduksi lebih banyak output dibandingkan dengan pesaingnya dengan sejumlah input yang sama atau mengkonsumsi input lebih rendah untuk menghasilkan sejumlah output yang sama.

3 Maksimalisasi Laba
Pada teori ekonomi konvensional perusahaan mempertimbangkan maksimalisasi laba sebagai tujuan utama perusahaan. Hal ini jelas apakah perusahaan adalah price taker (persaingan sempurna). Ketika suatu perusahaan menghadapi persaingan pasar sempurna, ia dianggap tidak memiliki pengaruh pada harga pasar yang baik dia menjual. Maka ia harus mempertimbangkan harga yang diberikan kepadanya. Apa yang dia lakukan adalah untuk memilih rencana produksi yang efisien secara teknis sehingga ia akan mampu menghasilkan makanan dengan cara yang paling efisien. Dengan demikian ia benar-benar berusaha untuk mengurangi nya per unit atau biaya rata-rata dan pada saat yang sama memperoleh pendapatan maksimal.

Ekonom berpendapat berikut, Mengingat bahwa perusahaan kompetitif sempurna bagaimana pun akan memilih proses produksi yang efisien secara teknis, tingkat output yang dihasilkan akan berada pada titik di mana biaya marjinal sama dengan penerimaan marjinal (MR). Persamaan MC dan MR diperoleh sebagai akibat dari obsesi dengan maksimalisasi laba. Karena laba adalah selisih antara penerimaan total dan biaya total, kita dengan mudah dapat menunjukkan bahwa memaksimalkan keuntungan akan memerlukan MC = MR. Sementara ini adalah kondisi yang diperlukan, kondisi cukup mengharuskan bahwa tingkat kenaikan MR harus kurang dari tingkat kenaikan di MC.
Dalam kasus monopoli, harga tidak diberikan. Sebaliknya ia dapat menentukan harga yang ia ingin biaya untuk produknya. Lebih lanjut, ia juga dapat menentukan jumlah output ia ingin hasilkan. Tapi dalam kasus kedua, prinsip tetap sama. monopoli masih akan menyamakan MC dan MR nya untuk memaksimalkan keuntungan. Output yang dihasilkan akan berada pada titik di mana tingkat kenaikan MR kurang dari yang MC. Perbedaannya di sini adalah bahwa ia mungkin menginginkan harga dan biaya untuk produk, atas dasar harga ini, ia akan menentukan tingkat output yang dihasilkan.

4 Normal dan Keuntungan Abnormal
Para ekonom telah menetapkan laba yang normal seperti yang dijamin tingkat keuntungan saat biaya rata-rata sama dengan pendapatan rata-rata. Lebih penting lagi, laba normal termasuk kembali ke pengusaha sebagai faktor produksi. Keuntungan abnormal terdiri dari dua jenis: normal dan sub-laba super normal. The-laba super normal diperoleh ketika pendapatan rata-rata melebihi biaya rata-rata. Ketika pendapatan rata-rata kurang dari biaya rata-rata, perusahaan dikatakan untuk mendapatkan keuntungan sub-normal atau hanya kerugian.
Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa laba super normal selalu melebihi laba yang normal. Oleh karena itu saham karena setiap faktor produksi atau nilai produk marjinal mereka berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang diperoleh ketika perusahaan memperoleh keuntungan normal.

5 Kritik pada Maksimalisasi Laba
Sebuah perusahaan dikatakan rasional jika tujuan satu-satunya adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Fitur ini ekonomi konvensional niscaya keberangkatan dari kenyataan. Kita tahu bahwa perusahaan tidak bisa eksis dengan sendirinya. Mereka perlu untuk beroperasi di masyarakat bahkan jika mereka harus hanya memperoleh keuntungan. Dengan demikian, ada pembenaran bagi perusahaan untuk melayani masyarakat selain dari memperoleh keuntungan.
Dalam pencarian keuntungan, perusahaan selalu beroperasi secara optimal. Dengan kata lain, perusahaan tidak beroperasi pada kapasitas maksimum. Alasannya adalah sebagai berikut:

Dan kondisi yang cukup diperlukan untuk keuntungan maksimal tidak memerlukan produksi dengan biaya rata-rata minimum. Pertimbangan utama adalah bahwa, selama output tambahan akan menghasilkan pendapatan tambahan yang lebih tinggi bahwa biaya tambahan, perusahaan dikatakan dapat meningkatkan keuntungan. Untuk perusahaan kompetitif murni, dalam jangka panjang, output akan diproduksi pada tingkat di mana biaya minimum. Maka perusahaan dikatakan untuk beroperasi secara optimal. Untuk monopoli, dalam jangka panjang, meskipun ia hanya mendapatkan keuntungan normal, output tidak diproduksi pada biaya rata-rata minimum. Hal ini terutama karena pertimbangan yang diberikan kepada pencapaian tujuan memaksimalkan keuntungan. Selain itu, di dunia nyata, persaingan murni adalah tidak ada karena adanya ketidaksempurnaan pasar. Dalam jangka lama kemudian, efisiensi ekonomi yang diwakili oleh MR = MC selalu dicapai tetapi efisiensi teknis tidak.
Argumen terhadap maksimalisasi laba dalam konteks ini adalah sebagai tujuan utama yang dikejar dengan mengorbankan beberap pihak, baik konsumen yang akan harus membayar harga yang jauh lebih tinggi atau dengan mengorbankan biaya factor produksi, terutama tenaga kerja. Eksploitasi ini tidak luput dari perhatian. Bahkan mereka dengan baik didokumentasikan. Alasan utama adalah bahwa, sebagai pelaku ekonomi yang bersikap rasional, memaksimalkan keuntungan yang harus dicapai apakah berarti adalah kejam atau tidak bermoral.

B.Tujuan Perusahaan dalam Perpektif Islam
Para ahli ekonomi telah mendefinisikan suatu perusahaan yang rasional adalah perusahaan yang mampu mencetak keuntungan secara maksimal. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap tujuan utama sebuah perusahaan adalah mencetak keuntungan semaksimal mungkin, meskipun kegiatan usaha tersebut akan mengakibatkan eksploitasi alam yang dapat merugikan masyarakat sekitarnya. Misalnya dengan dalih penekanan biaya produksi untuk dapat menambah keuntungan, suatu pabrik menggunakan mesin yang berkualitas rendah yang dapat mengakibatkan meningkatnya polusi udara. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam. Dalam Islam suatu kegiatan usaha, baik individual maupun kelompok usaha tidak menjadikan maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan utama yang dapat mengorbankan segalanya demi mencapai tujuan tersebut.

C.Keuntungan dalam Perspektif Islam
Islam mendorong manusia untuk meraih keunggulan dan kemenangan, baik di dunia maupun di akhirat. Keunggulan dalam hal duniawi (materi) dan keunggulan ukhrowi (spiritual). Dengan demikian, Islam mendorong manusia untuk terlibat secara aktif dalam usaha untuk meraih keuntungan materi. Bahkan lebih dari itu, Islam memuji usaha seseorang untuk meraih keuntungan, terlebih-lebih dalam usaha perdagangan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 198, Allah mempersilahkan kita untuk meraih karuniaNya.
Di sisi lain, Islam juga peduli akan karakter manusia yang sangat mencintai keuntungan duniawi. Oleh karena itu, Islam memberikan regulasi yang moderat dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan, agar kecintaan manusia terhadap harta tidak menjadikannya sebagai tujuan utama dalam hidup dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Manusia diperintahkan untuk tunduk terhadap regulasi syariah dalam mengejar keuntungan, regulasi “halal dan haram” dan “sah dan tidak sah” ini sebagai pedoman bagi manusia dalam mengejar keuntungan. Jadi manusia hanya diperbolehkan mengejar keuntungan yang halal dan sah menurut Islam, bukan hanya mengedepankan kuantitasnya saja. konsep “halal dan haram” ini bila dipatuhi oleh semua manusia, maka segala konflik ekonomi akan dapat terhindarkan.

D.Saran Alternative dari Ekonom Islam
Sejak maksimalisasi keuntungan sebagai teori dan dipraktekkan menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, beberapa ekonom islam telah menawarkan saran alternatif. Siddiqi menyarankan maksimalisasi keuntungan hendaknya harus dibatasi. Dia mengutip: kepatuhan penuh dengan konsep Islam tentang keadilan sosial dan tanggap terhadap kesejahteraan orang lain menjadi dua hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan usaha. Dan dua hal tersebut mejadi sesuatu yang paling urgen dalam kegiatan usaha, bukan maksimalisasi keuntungan. Jadi, setiap kegiatan usaha harus patuh terhadap regulasi syariah dan tidak menimbulkan efek negative bagi masyarakat. Dia berpendapat bahwa pembatasan maksimalisasi keuntungan menyiratkan bahwa:

1.Produsen tidak akan memaksimalkan keuntungan mereka jika mereka merasa bahwa dengan menurunkan margin keuntungan mereka mereka dapat memajukan masyarakat dengan memuaskan kebutuhan tidak akan pernah puas.
2.Tidak ada produser yang akan meningkatkan keuntungan dengan membebankan biaya kerusakan eksplisit ke konsumen atau pesaing nya.
3.Produsen umumnya akan puas dengan keuntungan yang memuaskan.

Siddiqi mencoba untuk mendefinisikan "keuntungan memuaskan" dengan mengacu pada batas atas dan bawah. Batas atas adalah laba tertinggi yang dapat dihasilkan tanpa melanggar aturan yang mengikat dalam hukum syariah dan kode etik islam. Batas bawah adalah bahwa tingkat laba melebihi kerugian rata-rata. keuntungan Memuaskan adalah setiap keuntungan di antara dua batas tersebut. Gagasan memuaskan adalah subyektif dan kabur. Selain itu, tidak memungkinkan analisis ketat masalah memperbaiki tujuan perusahaan.

Kahfi menolak maksimalisasi keuntungan karena tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam dalam hal ukuran keberhasilan, karena Islam tidak memandang suatu keberhasilan dikur dari kuantitas keuntungan, tapi dengan kualitas keuntungan yang didapat Kahfi juga menawarkan gagasan pembatasan maksimalisasi keuntungan. Menurutnya, pembatasan maksimalisasi keuntungan dapat diupayakan dengan adanya pembatasan tingkat minimum biaya produksi dan kwalitas yang dijamin oleh nilai-nilai etika dan undang-undang. jika kita mengadopsi gagasan tersebut dan meninggalkan maksimalisasi keuntungan yang tak dibatasi, perilaku perusahaan tidak lagi dapat diprediksi dan seragam. kekakuan sebagaimana yang terdapat dalam teori perusahaan konvensional juga akan hilang karena masuknya variabel yang tak dapat diukur.
Ariff tidak menemukan "keuntungan normal", dapat diterima oleh perusahaan kompetitif murni secara objektiv. Namun, ia menolak maksimalisasi keuntungan dalam situasi persaingan monopolistis, oligopoli, monopoli, dll, yang menghasilkan keuntungan yang abnormal. Dia berpendapat bahwa tidak adanya maksimalisasi keuntungan (yang diukur oleh MR = MC) tidak akan menurunkan motivasi pengusaha untuk menjadi lebih maju. Mereka akan terus begitu dengan memilih pertumbuhan usaha yang optimal dan dengan meminimalkan biaya. Dia menyarankan bahwa pengusaha muslim harus mencari kesetaraan antara biaya rata-rata dan pendapatan rata-rata bukan kesetaraan antara MR dan MC. Ini berarti output lebih tinggi dan harga yang lebih rendah, mengingat tingkat permintaan miring negatif. Dia secara implisit menyarankan agar memaksimalkan output sebagai alternatif tujuan perusahaan. Dia menyatakan bahwa harga yang diberikan garis horizontal, memaksimalkan output akan sama untuk memaksimalkan keuntungan normal jika jadwal permintaan tangensial ke kurva biaya rata-rata. Jika jadwal permintaan horisontal lebih tinggi daripada biaya rata-rata minimum, perusahaan akan memilih tingkat output yang lebih tinggi untuk mendapatkan total keuntungan yang lebih tinggi.
Saran Ariff diatas sangat menarik, karena dengan memaksimalkan output (ketika AC = AR) perilaku perusahaan ini sesuai dengan etika syariah, yaitu melayani masyarakat. Di mana mereka mampu memperoleh keuntungan normal, mereka juga bisa memproduksi output yang maksimal dan mendapatkan keuntungan dari konsumen yang akan membayar harga yang lebih rendah.

E.Implikasi terhadap Perekonomian
Keragaman tujuan mungkin atau tidak mungkin membutuhkan analisis teori yang teliti. Ini dapat dilakukan jika variabel dimasukkan sebagai tujuan yang tidak dapat diukur. Karena kita belum menjadi subyek penelitian, kita hanya bisa membuat pernyataan berikut:
a. dengan banyaknya sasaran tujuan, perusahaan itu akan bisa berfungsi dengan cara yang sejalan dengan ajaran Islam, prestasi "falah" memerlukan keseimbangan antara pencapaian material dan spiritual.
b. Secara khusus, perusahaan harus mampu mengakumulasi jumlah kekayaan atas ekspansi usaha yang ditujukan untuk kebutuhan umum.
c. Konsumen dalam masyarakat Islam cenderung lebih baik dalam hal output yang lebih tinggi dan harga yang lebih rendah. keuntungan yang berlebihan dalam arti-laba super normal tidak akan diterima oleh perusahaan-perusahaan tetapi akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk output lebih banyak dengan harga lebih murah.
d. Jenis barang yang dihasilkan akan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar. Hanya ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi, perusahaan kemudian akan masuk ke produksi barang untuk kebutuhan sekunder lain.
e. Kesejahteraan masyarakat umum bukan hanya beban negara, tetapi juga harus ditanggung bersama oleh pengusaha.

III. Kesimpulan
Teori ekonomi konvesional menganggap bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan utama dalam setiap kegiatan usaha. Hanya saja teori ini telah mendapat banyak kritik, kerena maksimalisasi laba mengorbankan banyak pihak. Seperti konsumen yang harus membayar harga lebih tinggi atas kebutuhannya. Disisi lain teori ini juga mengorbankan pihak tenaga kerja, yang budgetnya harus dikurangi demi meminimalisasi biaya produksi.
Kerena maksimalisasi laba tidak sejalan dengan ajaran islam, terutama dalam hal eksploitasi yang berlebihan terhadap konsumen. Para ekonom islam memberikan saran alternative yaitu dengan pembatasan maksimalisasi laba. Pelaku usaha dianjurkan untuk memperhatikan factor lain selain maksimalisasi keuntungan.

No comments: