Memproduksi suatu barang harus mempunyai
hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara
berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja
yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[1]
Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.[1]
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari
konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa,
kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi
akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa
kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi
menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan
dalam satu waktu periode tertentu. Dalam teori produksi memberikan penjelasan
tentang perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan
keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam
mengakui pemilikian pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat
produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.[2]
Konsumen muslim selalu berusaha memaksimumkan
maslahah. Konsumen akan selalu menggunakan dan mengalokasikan
anggarannya untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang dapat menciptakan maslahah
secara maksimal. Dengan memperoleh maslahah secara maksimal diharapkan konsumen
dapat memperoleh falah yang mana mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Produksi adalah kegiatan untuk menghasilkan
barang dan jasa. Tanpa kegiatan ini maka konsumen tidak akan mengkonsumsi
barang dan jasa yang dibutuhkan. Kegiatan ini merupakan kegiatang yang saling
berkaitan dan tidak bias dipisahkan. Karena prinsip-prinsip yang ada pada
kegiatan konsumsi akan perlaku juga pada kegiatan produksi. Jika konsumen
mengkonsumsi barang dan jasa untuk mendapatkan maslahah, maka produsen juga
akan memproduksi untuk mendapatkan atau mencapai maslahah.
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Produksi Menurut Islam.
Secara sederhana produksi adalah kegiatan
manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh
konsumen. Manusia sering memproduksi sendiri ketika kebutuhan konsumsinya masih
sedikit. Seseorang memproduksi barang dan jasa untuk dikosumsi. Ketika
kebutuhan manusia semakin banyak dan kompleks sehingga tidak mampu memproduksi
barang dan jasa yang dibutuhkannya maka manusia dapat memperoleh dari pihak
yang mampu menghasilkan barang dan jasa tersebut.
Pengertian produksi menurut para ekonom
islam:
a.
Menurut
Kahf (1992) memberikan definisi kegiatan produksi dalam persepektif islam
sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik matrialnya,
tapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana
digariskan dalam agam islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
b.
Manan
(1992) menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) konsep pareto
Optimality dan given demand hypothesis yang bayak dijadikan sebagai konsep
dasar produksi dalam konsep kenomi konvensional.
c.
Rahman
(1993) menekankan pentingnya keadilan dan kemerataan produksi (distribusi
produksi secara merata).
d.
Ul Haq
(1996) menyatakan bahwa tujuan dari produksi adalah memenuhi kebutuhan barang
dan jasa yang merupaka fardlu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang
pemenuhannya bersifat wajib.
e.
Siddiqi
(1992) mendevinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa
dengan memperhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kmanfaatan (maslahah) bagi
masyarakat. Sepanjang produsen telah bertindak adil membawa kebajikan bagi
masyarakat maka ia telah bertindak Islami.
Dari devinisi ini dapat disimpulkan bahwa
kepentingan manusia, sejalan dengan moral islam, harus menjadi fokus dan target
dari kegiatan produksi. Dimana produksi adalah proses mencari, mengalokasikan
dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan maslahah bagi
manusia. Karenanya produksi mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output
serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.[3]
B.
Tujuan
Produksi menurut Islam
Sebagaimana bahwa kegiatan produksi dan
konsumsi merupakan mata rantai yang saling berkaitan dengan lainya. Karenanya
kegiatan produksi harus sejalan dengan kegiatan konsumsi. Ketika ini tidak
sejalan tentu saja tujuan yang diinginkan daripada kegiatan ekonomi tidak akan
tercapai.
Tujuan seorang konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan jasa dalam perspektif ekonomi islam adalah mencari maslahah maksimim
dan produsen pun sama yaitu memaksimumkan maslahah. Dengan kata lain, tujuan
kegiata produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum
bagi konsumen. Lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan
kemaslahatan yang bisa diwujudkan dalam bentuk:
1.
Pemenuhan
kebutuhan manusia pada tingkatan moderat.
2.
Menemukan
kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.
3.
Menyiapkan
persediaan barang dan jasa di masa depan
4.
Pemenuhan
sarana bagi kegiatan social dan ibadah kepada Allah.
Tujuan produksi pertama adalah pemenuha
kebutuhan manusia pada tingkatan moderat. Ada dua implikasi yang muncul pada
tujuan ini, yang pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang
menjadi kebutuhan (wants) konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan
berlebihan, tapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
Produsen harus proaktif, keatif dan inovatif
dalam menemukan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia. Sikap
proaktif yang berorientasi kedepan dalam artian: pertama menghasilkan barang
dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masa mendatang. Kedua, menyadari bahwa
sumber daya ekonomi, baik natural resources atau non natural resources, tidak hanya
diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tapi jga generasi mendatang.
Orentasi kedepan mendorong produsen melakukan
berbagai riset dan pengembangan guna menemukan berbagai jenis kebutuhan,
teknologi yang diterapkan, serta berbagai standar lain yang sesuai dengan
tuntutan masa depan. Efisiensi juga senantiasa dikembangkan untuk menjaga
kelangsungan dan kesinambungan dalam pembangunan. Implikasinya adalah tersedianya secara memadahai kebutuhan bagi
generasi mandatang.
Untuk tujuan pemenuhan sarana bagi kegiatan
social dan ibadah kepada Allah. Ini sebenarnya merupakan tujuan produksi untuk
mendapatkan berkah, yang mungkin secara fisik belum tentu bias dirasakan oleh
perngusaha. Implikasinya adalah produksi tidak selalu menghasilkan keuntungan
material. Ibadah sering tidak secara langsung memberikan keuntungan material,
bahkan membutuhkan pengorbanan. Kegiatan produksi tetap berlangsung meski tidak
memberi keuntungan materi, namun akan memberi keuntung yang jauh lebih besar
yaitu pahala di akhirat.[4]
C.
Motivasi
Produsen dalam Berproduksi
Dalam ekonomi konvensional, anggapan bahwa
motivasi utama bagi produsen adalah mencari keuntungan material (uang) secara
maksimal, meskipun masih banyak motivasi lain. Produsen adalah seorang profit
seeker sekaligus profit maximizer. Strategi, konsep dan teknik berproduksi
semuanya diarahkan untuk mencapai keuntungan maksimum, baik jangka pende maupun
panjang.
Dalam islam, motivasi produsen seharusnya
sejalan dengan tujuan produksi itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah
menyediakan kebutuhan material dan sepiritual untuk menciptakan maslahah, maka
motivasinya adalah mencari maslahah, dimana ini menjadi tujuan kehidupan
seorang muslim. Produsen dalam pandangan ekonomi islam adalah maslahah maximizer. Mencari keuntungan
melalu produksi dan kegiatan bisnis lain memang tidak dilarang, selama tidak
bertentangan dengan tujuan dan hokum islam.
1. Keuntungan,
kerja dan tawakal
Islam bersikap sangat positif dan proaktif terhadap upaya manusia
untuk mencari keuntungan, selama cara yang dilakukan tidak melanggar syariat. Upaya mencari keuntungan merupakan
konsekoensi dari aktivitas kerja produktif yang dilakukan, keuntungan sendiri
merupakan rezeki yang diberikan Allah kepada hambanya. Kerja merupakan sarana
untuk mencari penghidupan serta untuk mensyukuri nikmat Allah yang diberikan
kepada hamba-Nya.
Seorang berserah
diri kepada Allah dalam hal berkerja (tawakal). Mereka tidak bekerja atau
bekerja seadanya dengan alasan berserah diri pada pemberian Allah. Mereka juga
beralasan bahwa rejeki telah diatur Allah, maka kita tidak perlu kerja keras,
kalau Allah memberi rejeki maka akan dating sendiri.
2.
Kegiatan
produksi pada masa Nabi Muhammad Saw.
Pada masa
Rasulullah terdapat kurang lebih 178 buah usaha industri dan bisnis barang dan
jasa yang menggerkan perekonomian msyarakat saat itu. Diantara berbagai
industri yang menonjol ialah:
a.
Pembuatan
senjata dan segalla usaha dari besi,
b. Perusahaan
tenun-menunun,
c.
Perusahaan
kayu dan pembuatan rumah/bangunan,
d. Perusahaan
meriam dari kayu,
e. Perusahaan
perhiasan dan kosmetik
f. Arsitektur
perumahan,
g.
Perusahaan
alat timbangan dan jenis lainnya,
h. Pembuatan
alat-alat berburu,
i.
Perusahaan perkapalan,
j.
Pekerjaan kedokteran dan kebidanan,
k. Usaha
penerjemahan buku,
l.
Usaha
kesenian dan kebudayaan lainnya.
D. Formulasi
Maslahah
Adapun formulasi mashlahah bagi produsen
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mashlahah = keuntungan + berkah
M = π + B
Dimana:
M = mashlahah
Π = keuntungan
B = berkah
Dalam berkah di mana produsen akan
menggunakan sesuatu yang sama dengan yang dipakai oleh konsumen dalam
mengindentifikasinya, yaitu adanya pahala pada produksi atau kegiatan yang
bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih antara pendapatan total/total
revenue (TR) dengan biaya totalnya/total cost (TC). Ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Π = TR – TC
Pada intinya berkah akan diperoleh apabila
produsen menerapkan prinsp dan nilai Islam dalam kegiatan produksinya. Namun,
penarapan nilai dan prinsip Islam ini seringkali menimbulkan biaya yang cukup
besar dibandingkan jika mengabaikannya. Adapun berkah merupakan suatu
kompensasi yang tidak secara langsung diterima produsen sehingga bisa
dirumuskan berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah
tersebut atau berkah cost (BC), yaitu:
B = BR – BC = -BC
Dalam rumus diatas penerimaan berkah menjadi
nol atau tidak dapat diprediksi karena berkah memang tidak secara langsung yang
selalu berwujud material.
Produsen yang menerapkan prinsip dan nilai
Islam (seperti kehalalan barang produksi) akan rela mengeluarkan biaya lebih
tinggi dikarenaka bahwa hanya dengan cara tersebut berkah dari langit maupun
dari bumi akan diberikan oleh Allah. Berkah dari langit berupa pahala dan
berkah dari bumi berupa segala yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi
produsen sendiri atau juga manusia secara keseluruhan.
Adapun biaya untuk mencari berkah (BC) tentu
saja akan membawa implikasi terhadap harga barang dan jasa yang dihasilkan
produsen. Jadi, harga jual produk adalah harga yang telah mengakomodasi
pengeluaran berkah tersebut, yaitu:
BP = P + BC
Dengan demikian rumusan mashlahah sebagai berkut:
M = BTR
– TC –BC
E.
Penurunan Kurva Penawaran
Kurva penawaran adalah kurva yang menunjukkan
hubungan antara tingkat harga dengan jumlah produk yang ditawarkan oleh
produsen. Ia menunjukkan respons produsen dalam memasok outputnya terhadap
perkembangan harga produk di pasar. Kurva penawaran diturunkan dari perilaku produsen
yang berorientasi untk mencapai mashlahah maksimum.
Contoh:
Seseorang memproduksi suatu barang, di mana harga jual
barang tersebut 171 rupiah. Untuk memproduksi satu unit barang itu diperlukan
biaya total 140 rupiah. Sedangkan untuk memproduksi 2 unit diperlukan biaya
total 145 rupiah, begitu seterusnya. Untuk mendapatkan produksi yang berkah,
maka diperlukan biaya sebesar 18 rupiah ketika produksi 1 unit. 20
rupiah ketika 2 unit, dan seterusnya.
Q
|
dQ
|
BP
|
TC
|
dTC
|
BC
|
dBC
|
BP
dQ
|
dTC+dBC
|
1
|
1
|
171
|
140
|
-
|
18
|
-
|
171
|
-
|
2
|
1
|
171
|
145
|
145
|
20
|
20
|
171
|
165
|
3
|
1
|
171
|
291
|
146
|
41
|
21
|
171
|
167
|
4
|
1
|
171
|
293
|
147
|
43
|
22
|
171
|
169
|
5
|
1
|
171
|
295
|
148
|
45
|
23
|
171
|
171
|
6
|
1
|
171
|
297
|
149
|
47
|
24
|
171
|
173
|
7
|
1
|
171
|
299
|
150
|
49
|
25
|
171
|
175
|
8
|
1
|
171
|
301
|
151
|
51
|
26
|
171
|
177
|
9
|
1
|
171
|
303
|
152
|
53
|
27
|
171
|
179
|
10
|
1
|
171
|
305
|
153
|
55
|
28
|
171
|
181
|
11
|
1
|
171
|
307
|
154
|
57
|
29
|
171
|
183
|
Dimana,
Q :
unit yang diproduksi
dQ :
tambahan jumlah yang diproduksi
BP : harga jual unit yang
diproduksi
TC : biaya total
produksi
dTC :
tambahan biaya bagi unit terakhir
BC :
pengeluaran untuk memperoleh berkah
dBC :
tambahan pengeluaran untuk memperoleh berkah
Adapun untuk mengetahui bagaimana proses yang
ditempuh produsen Muslim dalam memaksimumkan mashlahah, maka kita arahkan pada
dua kolom terakhir dari tabel di atas. Yang mana kolom tersebut membawa nilai
barang yang diproduksi terakhir dan biaya-biaya yang diperlukannya.
Jika dilihat baris kedua sampai keempat pada
kolom tersebut, maka didapati bahwa pendapatan yang diperoleh oleh produsen
dari memproduksi unit yang terakhir melebihi biaya produksi dan pengeluaran
untuk memperoleh berkah dalam memproduksi unit tersebut, sehingga mendorong
produsen untuk menambah jumlah produksi.
Adapun dampak kenaikan harga produk seperti
dari 171 rupiah menjadi 181 rupiah, maka bisa kita asumsikan dengan metode sama
yang terdapat pada kolom di atas.
Dari keterangan di atas tampak bahwa titik
optimum produksi akan naik sejalan dengan kenaikan tingkat harga produk,
demikian pula sebaliknya. Pada kenyataanya, semakin tinggi tingkat harga
produk, maka akan semakin banyak output yang harus dihasilkan oleh produsen
agar titik optimum tercapai. Dengan kata lain, jumlah output yang ditawarkan
oleh produsen akan semakin banyak dengan semakin menaiknya harga produk.
Sebaliknya, semakin rendah harga produk, akan semakin sedikit jumlah output
yang ditawarkan oleh produsen.
F.
Faktor Produksi
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu: Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional
terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi
memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah,
sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, faktor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional
tidak berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a.
Faktor produksi tenaga
kerja
b.
Faktor produksi bahan
baku dan bahan penolong
c.
Faktor produksi modal
Di antara ketiga faktor produksi, faktor
produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi
konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata
membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan
mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu
da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan antara faktor-faktor yang
terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai
buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam
memadukan larangan bunga (riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan
oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adanya prakonseps
kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik
pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni
melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui
pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar
terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua
pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha
menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan
dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik
perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan
hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan,
dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah
harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti
layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya,
sementara di kejauhan segalanya tetap kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah
meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan
kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak).
Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk
lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah
akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada
penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan
pajak.
G.
Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait
seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan
dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk
mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan
barang dan jasa guna falah tersebut.
Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw memberikan
arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai berikut:
1.
Tugas manusia di muka
bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya.
Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara
keduanya karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat
tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan
langit dan segala isinya.
2.
Islam selalu mendorong
kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar
penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan
perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya
ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
3.
Teknik produksi
diserahklan kepada keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah
bersabda:”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
4.
Dalam berinovasi dan
bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari
mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang
memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena
pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan
ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama sealin
Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan
berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan
sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagi pemilik hak
prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan
dipenuhi dengan optimal.[5]
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi
antara lain adalah:
1.
Memproduksikan barang
dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.
Mencegah kerusakan di
muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan
sumber daya alam.
3.
Produksi dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran.
Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan
agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama,
terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran
material.
4.
Produksi dalam islam
tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. Untuk itu hendaknya umat
memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan
terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan
pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang
bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan merupakan
fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan agama dan
dunianya.
5.
Meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas
spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan
etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan,
efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai
kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah menjadi unsur
penting dalam produksi Islami.
H.
Produksi
Dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT
sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar
akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam.
Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13) Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).
Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13) Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah
Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata
bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai
maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia
untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya,
urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang
bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya mereka
sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.
Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti
pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh Islam juga
menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu,
Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran Islam,
manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban
untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6)
ayat 165 Allah berfirman: “Dan Dia lah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian
kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.
Pernyataan senada juga terdapat pada QS. Yunus
(10) ayat 14: “Kemudian kami jadikan kamu
pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami
memerhatikan bagiaman kamu berbuat.” Islam juga mengajarkan bahwa
sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau
masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila
seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha
itu menempati posisi dan peranan sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit
untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari
bentuk dan jenis pekerjaanya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah
yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan
mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran. Bagi Islam, memproduksi
sesuatu bukanlah sekedar untuk di konsumsi sendiri atau di jual ke pasar.
Dua motivasi itu belum cukup, karena masih
terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap
kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS.
Al-Hadid (57) ayat 7: “Berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah
telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Kita
harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak
orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta. (QS.51:19 dan QS.70:25).
Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus
melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsutif dan meraih keuntungan
finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas
dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan
berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full employment,
dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur
syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi
kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan
kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proposional. Tentu saja Islam harus
memastikan hanya memproduksikan sesuatu yang halal dan bermanfaat buat
masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah
kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk
mencukupi umat dan bangsa lain.
Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk
memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang
yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu
bagi Islam., produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi
masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa
didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai dasar modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi
beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh
umat manusia. Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 22: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-kutu bagi Allah,
padahal kamu mengetahui.”[6]
I.
Nilai-nilai
Islam dalam berproduksi
Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat
terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain,
seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang
islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim tak
hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi
pasarnya.
Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi
dikembangkan dari tiga nilai utama dalam ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil,
dan takaful. Secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1.
Berwawasan jangka panjang,
yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.
Menepati janji dan
kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.
Memenuhi takran,
ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4.
Berpegang teguh pada
kedisiplinan dan dinamis;
5.
Memuliakan
prestasi/produktifitas;
6.
Mendorong ukhuwah
antarsesama pelaku ekonomi;
7.
Menghormati hak milik
individu;
8.
Mengikuti syarta sah dan
rukun akad/transaksi;
9.
Adil dalam bertransaksi;
10.
Memiliki wawasan sosial;
11.
Pembayaran upah tepat
waktu dan layak;
12.
Menghindari jenis dan
proses produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi
tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus
mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh
produsen merupakan satu mashlahah yang akan memberi kontribusi bagi tercapinya
falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu
kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.[7]
J.
Perilaku
Produsen Muslim Vs Non Muslim
Muhammad (2004) berpendapat
bahwa sistem ekonomi Islami digambarkan seperti bangunan dengan atap akhlak.
Akhlak akan mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas
ekonomi produksi. Menurut Qardhawi dikatakan, bahwa: “Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan
kaum muslimin, baik secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja
pada bidang yang dihalalkan oleh Allah swt, dan tidak melampaui apa yang
diharamkannya.”
Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi
sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka
tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka mementingkan kebutuhan dan
hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu akibat yang akan merusak atau merugikan
orang lain. Tergiur dengan kenikmatan sesaat. Hal ini dikatakan sebagai
perbuatan yang melampaui batas, yang demikian inilah termasuk kategori
orang-orang yang zalim. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim. (Al Baqarah: 229) Seorang produsen muslim harus
berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas halal dan
haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata, tidak melihat apakah
produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan
nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak.
Akan tetapi seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan
diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak
yang mulia. “Seorang muslim tidak boleh
memudharatkan diriya sendiri dan orang lain, tidak boleh memudharatkan dan
saling memudharatkan dalam islam. “Barang siap dalam Islam yang memprakasai
suatu perbuatan yag buruk, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakannya
sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad, Muslim,
Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir).”
Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah
dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak
nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan
kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan
akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Produser hanya
mementingkan kekayaan uang dan pendapatan yang maksimum semata, tidak melihat
halal dan haram serta tidak mengindahkan aturan dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh agama.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa norma
dan etika seorang produsen muslim adalah:
1.
Norma Produsen Muslim
a.
Menghindari sifat tamak
dan rakus
b.
Tidak melampaui batas
serta tidak berbuat zhalim
c. Harus memperhatikan
apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai
dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah
tidak.
d. Seorang muslim harus
memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat
banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
2.
Etika Produsen Muslim
a. Memperhatikan halal dan
haram.
b.
Tidak mementingkan
keuntungan semata.
c. Diharamkan memproduksi
segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang
menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada
hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan,
mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan
kesejahteraan umum.
Produsen muslim harus memperhatikan semua aturan yang telah
ditetapkan sesuai dengan ajaran islam, sementara produsen non muslim tidak
mempunyai aturan-aturan seperti yang tersebut diatas.
[3] Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hlm. 230
No comments:
Post a Comment