29 August 2010

Kaidah Fiqh Tentang Keyakinan dan Keraguan

Yakin adalah
ﻫﻭﻣﺎﻛﺎﻥﺛﺎﺑﺗﺎﺑﺎﻟﻧﻇﺭﺃﻭﺍﻟﺩﻟﻳﻝ
Sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil.

Sedangkan yang dinaksud dengan syak atau ragu adalah
ﻫﻭ ﻤﺎ ﻜﺎﻦ ﻣﺗﺭﺪﺪﺍ ﺑﻳﻦ ﺍﻠﺛﺑﻭﺕ ﻭﻋﺩﻣﻪ ﻤﻊ ﺗﺳﺎﻭﻯ ﻃﺭﻓﻰ ﺍﻟﺻﻭﺍﺐ ﻭﺍﻟﺧﻁﺎﺀ ﺩﻭﻥ ﺗﺭﺟﻳﺢ ﺍﺣﺩﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻵﺧﺭ
Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiada, dan dalam ketidak tentuan itu sama antara batas kebenaran dan kasalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.


Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguan adalah merupakan kaidah fiqh yang kedua. Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda. Hanya saja besar kecilnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi sesuai dengan lemah-kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Artinya ketika keyakinan lemah tentu saja keraguan menjadi lebih besar atau kuat, begitu pula sebaliknya ketika keyakinan lebih kuat atau besar yang terjadi adalah keraguan menjadi lebih lemah.
Kaidah tersebut adalah :

ﺍﻟﻳﻗﻳﻥ ﻻﻳﺯﺍﻝ ﺑﺎﻟﺷﻚ

“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”
Ulama Hanafiyah dengan ulama Syafi`iah berbeda dalam menuangkan/menafsirkan kaidah tersebut. Ulama Hanafiyah meredaksikan kaidah tersebut:

ﺍﻟﻳﻗﻳﻥ ﻻﻳﺯﺍﻝ ﺑﺎﻟﺷﻚ
Letak perbedaannya terlatak pada penggunaan kata kerja mudhari`, ulama Hanafiyah tidak mempasifkan kata kerjanya, sedang ulama Syafi`iah mempasifkannya. Dari segi maksud dan arti, dua redaksi tersebut tidak menunjukan perbedaan.1

1 Dasar-Dasar Kaidah

kaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan pada beberapa hadits. Antara lain hadits riwayat imam Muslim dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa nabi Muhammd SAW. Bersabda :

ﺍﺫﺍ ﻭﺠﺩ ﺍﺣﺩ ﻛﻡ ﻓﻰ ﺑﻃﻧﻪ ﺷﻳﺄ ﻓﺄﺷﻛﻝ ﻋﻟﻳﻪ ﺍﺧﺭﺝ ﻣﻧﻪ ﺷﻳﺊ ﺍﻣﻻ ﻓﻼ ﻳﺧﺭﺟﻥ ﻣﻥ ﺍﻟﻣﺳﺟﺩ ﺤﺗﻰ ﻳﺳﻣﻊ ﺻﻭﺗﺎ ﺍﻭﺗﺟﺩ ﺭﻳﺤﺎ ﴿ﺮﻭﺍﻩ ﻣﺳﻟﻢ ﻋﻥ ﺍﺑﻰ ﻫﻳﺭﺓ﴾

“apabila seseorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut, kemidian dia ragu, apakah dia kentut atau tidak, janganlah keluar dari masjid sebelum mendengar atau merasakan atau mendapatkan baunya.” (H.R.Muslim dari abu Hurairah)

Hadits diatas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang shalat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah. Oleh karena itu¸ kita dapat memperdiksikan bahwa yang masuk ke masjid telah berwudhu (bersuci). Ketika shalat berjamaah, ia ragu akan keabsahan wudhunya, batal atau tidak, orang tersebut tidak perlu membatalkan shalatnya sebelum mendapatkan bukti yang meyakinkan tentang ketidakabsahan wudhunya.

ﺍﺫﺍ ﺷﻙ ﺍﺣﺩ ﻛﻡ ﻓﻰ ﺻﻼﺗﻪ ﻓﻟﻡ ﻳﺩﺭ ﻛﻡ ﺻﻟﻰ ﺃﺛﻼﺛﺎ ﺍﻭ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻓﻟﻳﻁﺭﺡ ﺍﻟﺷﻙ ﻭﻟﺑﻥ ﻣﺍﺳﺗﻳﻗﻥ ﴿ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺗﺭﻣﺫﻯﻋﻥﻋﺑﺩﺍﻟﺭﺤﻣﻥ﴾
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat,tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga atau empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit)”. (H.R. Thurmuzhi dari Abdurrahman)

Pada dalil yang disebutkan diatas bahwa keraguan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Misal : seseorang ragu-ragu dalam shalat, berapa rakaat yang ia lakukan maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak itu yang diragu-ragukan. Demikian pula seseorsng telsh berwudhu kemudisn Dia ragu-ragu, apakah sudah berhadas atau belum, maka Dia dianggap masih mempunyai wudhu, karena mempunyai wudhu itu yang yakin, sedangkan yang berhadas masih diragukan.

Dalil `aqli bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keraguan lebih kuat dari pada keraguan, karena keyakinan terdapat hukum qath`i yang meyakinkan. Atas pertimbangan itulah keyakinan tidak dapat dirusak oleh keraguan.


DARI KAIDAH DIATAS MUNCUL BEBERAPA KAIDAH YANG LEBIH MENYEMPIT RUANG LINGKUPNYA.
Kaidah pertama
ﺍﻟﻴﻗﻦﻴﺯﺍﻝﺑﺎﻟﻳﻗﻳﻦﻣﺛﻟﻪ
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”.

Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
Kaidah kedua
ﺃﻦ ﻤﺎ ﺛﺑﺖ ﺑﻳﻗﻳﻦ ﻻ ﻳﺭﺗﻓﻊ ﺇﻻ ﺑﻳﻗﻳﻦ
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”

Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah thawaf yang dilakukan adalah putaran keenam atau putaran kelima. Maka yang lebih meyakinkan adalah jumlah yang kelima.

Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seorang mengalami keraguan, maka bilangan bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.2
Kaidah ketiga
ﺍﻷﺻﻝﺑﺭﺍﺀﺓﺍﻟﺫﻣﻪ
“hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab atau beban.”

Mengenai kaidah ini terjadi ketika seorang tertuduh dan penuduh, selama penuduh tersebut tidak menunjukkan bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh, maka pada dasarnya ia bebas dari segala beban atau tanggung jawab.

Kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas, belum mempunyai tanggungan,ini mengisyaratkan bahwa manusia adalah mahluk yang suci, tidak dibebani dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tua. Adanya beban dan tanggung jawab akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan.
Kaidah keempat
من شك افعل شيأ ام لا فالاصل انه لم يفعله
”Barang siapa yang ragu-ragu apakah ia melakukan sesuatu atau belum, maka hukum yang terkuat adalah ia belum melakukannya”

Misalnya seseorang ragu-ragu apakah ia sudah wudhu atau belum maka yang di anggap adalah ia belum berwudhu, karena belum wudhu merupakan hukum asal, yakni seseorang itu pada dasarnya lepas bebas sedangkan wudhu salah satu dari bentuk dari pada beban.
Kaidah kelima
من تيقن الفعل وشك في القليل اوالكثير حمل على القليل لانه المتيقن
“Barang siapa yang yakin melakukan pekerjaan akan tetapi ragu-ragu dengan sedikit-banyaknya perbuatan, maka yang dianggap adalah sedikit karena hal itu yang meyakinkan”

Misalnya orang dalam sholat, apakah ia melakukan melakukan tiga rakaat atau empat rakaat, maka yang dianggap adalah tiga rakaat karena yang tiga rakaat itu yang yakin, sedang yang empat rakaat belum tentu dan untuk mencapai empat rakaat melalui tiga rakaat terlebih dahulu sehingga yang tiga rakaat merupakan yang di yakini.
Kaidah keenam
الاصل العدم
“Asal dari segala hukum adalah tidak adanya beban”

Misalnya terjadi perselisihan diantara pembeli dan penjual tentang barang yang cacat yang sudah di beli, maka kasus ini di menangkan oleh penjual, karena pada saat pembeliannya barang tersebut masih baik belum ada cacatnya.
Kaidah ketujuh

الاصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمن
“Asal dari setiap kasus mengenai perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya “

Misalnya seseorang wudhu air sumur kemudian Ia shalat, setelah shalat Ia melihat bangkai tikus di dalam sumur, maka ia tidak wajib mengqada’ shalatnya, kecuali Ia yakin bahwa shalatnya tidak sah karena berwudhu dengan air najis.
Kaidah kedelapan
الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal sesuatu adalah kebolehan, sehingga terdapat bukti yang mengharamkannya”.

Kaidah tersebut di cetuskan oleh imam Syafi’i, sedangkan bagi imam Hanafi adalah :
الاصل فى الاشياء التحريم حتى يدل الدليل على الاباحة
“Hukum asal sesuatu adalah keharaman, sehingga terdapat bukti yang memperbolehkannya”.

Kiranya kaidah tersebut yang lebih absah yang di cetuskan oleh imam syafi’I karena kaidah tersebut sesuai dengan asas filosofisnya tasyri’ islam, yakni tidak memberatka dan tidak banyak beban. Lagipula kaidah itu di topang oleh firman Allah:
هوالذي خلق لكم مافي الارض جميعا
“Dia Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu”.
Dan sabda Nabi yang artinya:
Apa yang telah di halalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang di haramkan Allah adalah haram sedang yang tidak di singgung adalah di maafkan (di makannya), maka terimalah kemaafan itu sebagai karunia dari Allah, sesungguhnya Allah tidak lupa akan sesuatu”. (HR Al-Bazzar dan Thabrani dari abu Darda’)

Walaupun kedua kaidah itu bertentangan, namundapat di kompromikan, yakni meletakkan dan menggunakan sesuai dengan proporsinya. Kaidah pertama di gunakan untuk masalah muamalah dan masalah keduniaan, sedang kaedah yang kedua untuk masalah ibadah. Misalnya anjing haram dimakan sedang ikan sangat halal untuk di makan karena keduanya telah jelas nashnya dalam al-qur’an dan sunnah, namun makanan yang tidak di nash dalam nash maka kaedah yang cucok untuk kasus ini adalah kaedah yang pertama yakni makanan itu halal atau boleh. Sedangkan masalah ibadah tidak di perbolehkan kecuali ada perintah. Hal itu sesuai dengan kaidah.
Kaidah kesembilan
الاصل فى العبادة البطلان حتى يقوم دليل على الامر
“Asal hukum ibadah adalah batal kecuali ada dalil yang menyerukan”

kaidah diatas diperkuat dengan sabda Nabi :
من عمل عملا ليس فى امرنا هذا فهو رد
Barang siapa yang beramal yang bukan termasuk seruanku maka amalan itu tertolak. Al Hadis.

Kaidah kesepuluh
الاصل فى العبادات التوقيف والاتباع
“Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang di tetapkan”

Misalnya jumlah rakaat dalam shalat maghrib adalah tiga rakaat maka tidak boleh di tambah atau di kurangi.

Kaidah kesebelas
الاصل فى الابضاء التحريم
“ Hukum asal tentang seks adalah haram”

Adapun dasar kaidah di atas firman Allah adalah:





Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka dan budak yang mereka miliki, maka mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa yang mencari dibalik itu, maka mereka ituylahg orang-orang yang melkampaui batas”. (Qs. Al-Mukminun : 5-7)3

Karena itu, semua perbuatan yang berhubungan dengan seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkanya, misalnya dengan akad nikah atau milkul yamin. Demikian seorang laki-laki tidak dibolehkan nikah dengan wanita yanfg belum jelas nasababnya, karena dikhawatirkan wanita itu termasuk mahromnya.
Kaidah keduabelas
الاصل فى الكلام الحقيقة
“ Hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat”.4

kaidah ini lebih condong dalam memahami sebuah kalimat, “saya mau menafkahkan harta saya kepada anaknya Budi, maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan juga cucu. Misalnya orang tua sebulum meninggal mengatakan ingin memberi sesuatu kapada seseorang, maka pemberian itu bukan termasuk wasiat, karena makna yang asal adalah hakikat pemberian bukan makna dibalik pemberian itu.*****kuliah.dot.com

KESIMPULAN

Dari kaidah fiqh diatas dapat disimpulkan bahwa seberapun keraguan seseorang tidak akan bisa merusak keyakinan. Keyakinan hanya bisa rusak dengan keyakinan yang lebih meyakinkan. Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan terhadap seatu hal yang baik. Kaidah tentang keyakinan akan muncul beberapa kaidah peyempitan seperti kaidah “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”. Artinya keyakinan itu bisa rusak/hilang ketika ada bukti yang lebih meyakinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Mubarok Jaih, Kaidah Fiqh (sejarah dan kaidah-kaidah asasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002.
Djazuli, kaidah-kaidah fikih, kaidah-kaidah hukum islam dalam menylesaikan masalah-masalah yang praktis,cet.1, (Jakarta :kencana, 2006)
Usman Muclis, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan fiqhiyah (pedoman dasar dalam istinbath hokum islam), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2002

No comments: