27 November 2014

Dampak Riba Bagi Perekonomian


A.    Dampak Riba Dalam Perekonomian
Dalam transaksi keuangan, eksploitasi maupun ketidakadilan mungkin terjadi. Dalam hal simpan-pinjam, misalnya, Islam melarang untuk mengenakan denda jika hutang telat dibayar karena prinsip hutang dalam hal ini adalah menolong orang lain (tabarru’) dan tidak dibolehkan mengambil keuntungan dalam tabarru’.
Dalam riba jahiliyah tersebut, potensi eksploitasi sangat tinggi. Di samping itu, pengambilan keuntungan sepihak dalam transaski keuangan juga dilarang dalam Islam, yang dikenal dengan istilah riba nasi’ah, dimana ada kesepakatan untuk membayar bunga dalam transaksi hutang-piutang atau pembiayaan. Dalam hal ini, satu pihak akan mendapatkan keuntungan yang sudah pasti, sedangkan pihak lainnya hanya menikmati sisa keuntungannya. Jelas hal ini tidaklah adil. Dengan demikian, implementasi penggunaan riba dapat berdampak buruk bagi perekonomian, yaitu:
  1. Ketidakadilan distribusi pendapatan dan kekayaan. Prinsip riba yang memberikan hasil tetap pada satu pihak (pemodal) dan hasil tak tetap pada pihak lawan (pengusaha).
  2. Potensi ekploitasi terhadap pihak yang lemah dan keuntungan lebih berpihak pada orang-orang kaya. Sistem riba memiliki kecenderungan terjadinya akumulasi modal pada pihak bermodal tinggi.
  3. Alokasi sumber daya ekonomi tidak efisien. Prinsip dan sistem bunga membawa kecenderungan alokasi dana tidak di dasarkan atas prospek profitabilitas usaha melainkan lebih pada dasar kemampuan pengembalian pinjaman (kolektibilitas) dan nilai jaminan (kolateral).
  4. Terhambatnya investasi.
Di samping itu, dampak riba juga tidak saja berpengaruh dalam kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan di tengah-tengah masyarakat, yaitu:
  1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama/saling menolong dengan sesama manusia. Dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan perasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu kesulitan orang lain.
  2. Menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari waktu ke waktu. Keadaan ini menimbulkan anggapan bahwa dalam jangka waktu yang tidak terbatas ia mendapatkan tambahan pendapatan rutin, sehingga menurunkan dinamisasi, inovasi dan kreativitas dalam bekerja.
  3. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menuntut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama. Menjadikan kreditur mempunyai ligetimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut kesepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitugkan keuntungan yang diperoleh dari kelebihan bunga yang akan diperoleh, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.
  4. Yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Bagi orang yang mendapatkan pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai pendapatan kecil, tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan utang tetapi harus memikirkan bunga yang akan dibayarkan.
  5. Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain sebagai alat tukar yang mempunyai sifat stabil karena nilai uang dan barang sama atau intrinsik. Bila uang dipotong uang tidak bernilai lagi, bahkan nilainya tidak lebih dari kertas biasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijadikan komoditas.
  6. Tingkat bunga tinggi menurunkan minat untuk berinvestasi. Investor akan memperhitungkan besarnya harga peminjam atau bunga bank. Investor tidak mau menanggung biaya produksi yang tinggi yang diakibatkan biaya bunga dengan mengurangi produksinya. Bila hal ini terjadi  maka akan mengurangi kesempatan kerja dan pendapatan sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan adanya beberapa dampak riba baik terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat, maka diperlukan usaha secara kolektif, terencana dan terorganisasi untuk menguranginya dan memberikan alternatif yang lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah simultan dan berkesinambungan dalam memperjuangkan keempat hal berikut:
  • Mendidik masyarakat dan mengajak partisipasi mereka dalam proses penghapusan sistem riba. Sistem pemerintahan yang sudah mulai demokratis memiliki potensi besar dalam mengajak masyarakat untuk memerangi ketidakadilan dan eksploitasi dari sistem riba.
  • Mengurangi dan menghilangkan sebab-sebab yang membuat para pemodal menggunakan prinsip bunga. Para pemodal akan enggan menawarkan modalnya kepada pengusaha dengan prinsip bagi hasil ketika depresiasi mata uang selalu terjadi dan kecilnya jaminan bahwa pengusaha tidak akan menipu mereka.
  • Mengurangi dan menghilangkan sebab-sebab masyarakat dan pengusaha menginginkan sistem bunga (riba). Selama depresiasi terjadi dan bisa mamkan dana tabungan, dan disisi lain bank menawarkan bunga tabungan/deposito di atas tingkat inflasi, maka sangatlah sulit mengajak masyarakat untuk menghindari menabung dana mereka di bank konvensional. Kebijakan terbaik adalah dengan menurunkan tingkat bunga pasar dan tingkat inflasi sehingga masyarakat tidak lagi berharap bahwa nilai waktu dari uang adalah positif. Oleh karena itu, diperlukan standar lain bagi bank dalam memberikan imbalan kepada para penabung atau deposan, serta diperlukannya insentif yang cocok bagi para peminjam dana dengan prinsip non-bunga sehingga peluang tindak penipuan bisa dihindari. Standar semacam ini perlu diubah, sehingga modal besar hanya akan diberikan pada investasi-investasi yang benar-benar memerlukan modal besar.
  • Mencegah terjadinya penurunan produksi dan pengangguran. Para kapitalis memerlukan waktu untuk berpindah dari sistem bunga ke sistem bagi hasil, dari sistem risk shifting menuju sistem risk sharing, karena dalam hal ini mereka harus turut mengambil resiko usaha.
  • Perlunya pemerintah membantu usaha-usaha tersebut. Kebijakan pemerintah sangat sering berpihak dan didekti oleh kepentingan kapitalis dan penguasa. Sistem pemerintahan yang demokratis belum menjamin hilangnya praktek ekploitasi pihak yang lemah dan budaya korupsi/penipuan. Peran para ekonom dalam menetapkan sistem bebas bunga tidak akan berarti ketika budaya penipuan, eksploitasi masih bertahan. Karenanya pemerintah perlu mengambil tindakan legislatif dan administratif yang mendukung pelaksanaan sistem non-bunga.

No comments: