28 November 2014

Larangan Menjual Obyek Yang Tidak Ada Dalam Transaksi



A.    Pendahuluan
            Dalam dunia usaha, akad (transaksi) usaha itu menduduki posisi yang amat penting, karena perjanjian itulah yang membatasi hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam pengelolaan usaha, dan akan mengikat hubungan itu di masa sekarang dan di masa yang akan datang, dan karena dasar hubungan itu adalah pelaksanaan apa yang menjadi orientasi kedua orang yang melakukan perjanjian, dijelaskan dalam perjanjian oleh keduanya, kecuali bila menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah.
Warisan ilmu fikih yang kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar perjanjian-perjanjian usaha tersebut sehingga dapat merealisasikan tujuannya, memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta melahirkan beberapa kaidah dan pandangan bagi umat Islam untuk digunakan memenuhi kebutuhan modern kita.
            Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, semakin kecil kemungkinan adanya konflik dan pertentangan antara kedua belah pihak di masa mendatang. Tidak sedikit konflik dan pertentangan di masyarakat yang muncul karena ketidakcermatan pada saat menyepekatai suatu akad tertentu.

B.     Pengertian Akad dan Ruang Lingkupnya
Secara leksikal, akad berarti mengikat atau mempertemukan. Berangkat dari arti leksikal ini kemudian para ahli hukum Islam mendefinisikan akad sebagai ‘pertemuan ijab yang muncul dari salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut ketentuan hukum syariah dan menimbulkan akibat hukum pada obyeknya”. Definisi ini merupakan definisi baku yang diterima oleh para ahli hukum Islam kontemporer. [1]
Dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian, transaksi) yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi (1) rukun akad dan (2) syarat akad. Syarat akad dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1.      syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad)
2.      syarat keabsahan akad (syuruth ash-shihah)
3.      syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruth an-nafadz), dan
4.      syarat mengikat akad (syuruth al-luzum)[2]

Sedangkan rukun akad adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam komponen rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:
1.      para pihak yang membuat akad (al- ‘aqidan)
2.      pernyataan kehendak para pihak (sighatul- ‘aqd),
3.      objek akad (mahallul-‘aqd), dan
4.      tujuan akad (maudhu’ al-aqdi).
Rukun yang disebutkan diatas harus ada untuk terjadinya akad. Kita tidak mungkin membayangkan terjadinya akad apabila tidak ada pihak yang membuat akad, atau tidak ada pernyataan kehendak untuk berakad, atau tidak ada obyek akad, atau tidak ada tujuannya.
            Dalam makalah ini pembahasan hanya akan terkonsentrasi pada rukun akad yang ketiga yakni objek akad, kaitannya dengan larangan menjual objek akad yang belum ada pada saat akad (transaksi) berlangsung.
            Dalam hukum perjanjian Islam objek akad dimaksudkan sebagai hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Terhadap objek akad disyaratkan tiga syarat, yaitu :
  1. objek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan
  2. objek akad harus tertentu atau dapat ditentukan, dan
  3. objek akad dapat ditransaksikan menurut syara’.[3]
Dari syarat-syarat tersebut di atas, jelaslah bahwa objek akad harus dapat diserahkan, baik berupa barang seperti dalam akad jual beli, maupun berupa sesuatu yang bisa dinikmati atau diambil manfaatnya apabila objek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa-menyewa benda. Apabila objek akad berupa sesuatu perbuatan, maka pekerjaan itu harus mungkin dan dapat dilaksanakan.
            Dasar ketentuan itu disimpulkan dari beberapa hadits Nabi Muhammad SAW, antara lain :
  1. Hadits Hakim Ibn Hizam yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “Jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu” (HR an-Nasa’i)
  2. Hadits Abu Hurairah yang mengatakan: Rosulullah SAW, melarang jual beli lempar kerikil dan jual belli gharar’ (HR. Muslim)[4]

C.          Kontrak Berjangka Komoditi dalam Perspektif Hukum Islam
Di era modern ini di mana bentuk transaksi ekonomi terjadi dalam bentuk pasar yang lebih kompleks dan perdagangan melibatkan modal dan transaksi besar sehingga resiko bisnispun menjadi lebih besar pula. Oleh karenanya diperlukan suatu sistem manajemen resiko yang dihadapi pelaku bisnis. Salah satunya adalah dengan memberlakukan sistem pasar derivatif, khususnya pasar berjangka.
Perdagangan berjangka komoditi adalah “segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka”. Dalam kontrak berjangka komoditi, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah suatu kontrak atas suatu komoditi tertentu yang menjadi subyek kontrak tersebut. Kegiatan transaksi ini hanya dapat diselenggarakan di Bursa Berjangka Komoditi yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).[5]
Sedangkan kontrak-kontrak berjangka adalah produk bursa berjangka. Untuk membuat suatu kontrak berjangka, bursa berjangka harus mendapat persetujuan dari Bappebti yang menyediakan mekanisme yang menjamin dipenuhinya kontrak tersebut. Bursa berjangka juga menentukan spesifikasi yang terstandar dari kontrak yang diperdagangkan.
Sistem pasar berjangka semacam ini sebenarnya sudah diselenggarakan sejak 150 tahun lebih di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Kemudian sistem ini diadopsi secara lebih luas di negara-negara berkembang. Pada mulanya sistem ini hanya dilakukan untuk kontrak-kontrak berjangka yang melibatkan produk-produk pertanian saja. Namuan setelah 1972 perdagangan mulai berkembang meliputi aset-aset finansial juga.
Di Indonesia sendiri pengembangan industri perdagangan berjangka pendek ini baru di respons pemerintah pada pertengahan 1990 an, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, dan disusul dua tahun kemudian tepatnya 19 Agustus 1999 dengan berdirinya PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) yang merupakan perusahaan bursa berjangka pertama di Indonesia, dan mulai beroperasi 15 Desember 2001, setelah mengantongi izin operasi 29 November 2001.[6]
            Setelah mulai beroperasi, beberapa hambatan dan tantangan segera muncul didepannya. Mulai dari faktor sosisalisasi ke masyarakat, hingga permaslahan lainnya, misalnya tuduhan bahwa perdagangan berjangka ini mirip dengan judi dan banyaknya terjadi penipuan oleh pialang tidak resmi yang membuat mereka yang pernah bermain di pasar berjangka kapok serta masalah persaingan dan perselisishan pemerintah dengan pialang tidak resmi.
            Sebagai gambaran dapatlah kita ambil contoh atas perdagangan berjangka komoditi ini, misalnya ada sebuah usaha di bidang pertenunan yang membutuhkan bahan baku kapas. Perusahan ini tidak ingin membeli bahan baku ini sekaligus dalam jumlah amat banyak karena tidak adanya gudang tempat penyimpanan atau kurangnya modal untuk membeli bahan baku tersebut sekaligus. Di lain pihak dia juga tidak ingin membelli langsung dari pasar spot mengingat fluktuasi harga yang tidak dapat diramalkan dan mungkin mengganggu keuangan perusahaan. Untuk mengatasi hal ini perusahaan tersebut dapat membeli kontrak komoditi yang diperlukannya itu melalui kontrak berjangka di mana tanggal pengadaan komoditi itu dikemudian hari sesuai dengan tanggal diperlukan oelh perusahaan bersangkutan. Harga ditetapkan pada saat penutupan kontrak berdasarkan harga saat penutupan dan perhitungan kemungkinan perubahan harga di masa depan. Pada saat penutupan kontrak pembeli harus membayar margin, yaitu sejumlah uang semacam persekot (biasanya 5-18 %) dari nilai kontrak sebagai jaminan dari transaksi tersebut. Sisa harga dibayar pada saat penyerahan barang.
            Contoh kontrak berjangka adalah misalkan pada bulan Maret seorang petani menanam padi dan mengharapkan panen 10.000 karung. Harga gabah pada bulan Maret itu Rp. 600/ karung dan di pasar berjangka Rp. 625. Petani itu berharap pada musim panen harga tetap stabil. Namun ia tetap khawatir kalau-kalau harga gabah anjlog pada saat panet. Untuk melindungi dari kerugian besar, maka petani menjual gabahnya yang sebetulnya belum ada melalui 2 kontrak berjangka gabah masing-masing 5000 karung dengan harga Rp. 625.
Pada awal Juli harga padi di pasar spot dan pasar berjangka jatuh dan ketika ia menjual gabahnya hanya laku Rp. 550. Untuk menekan kerugian karena turunnya harga ini, ia pada bulan Juli itu membeli 2 kontrak berjangka gabah untuk September (10.000) karung @ Rp. 575. Dia memperoleh keuntungan Rp. 25/ karung di pasar berjangka untuk menutupi harga rendah yang ia dapat dari penjual gabahnya.[7]

D.          Kontrak Bejangka Komoditi dalam Perspektif Fikih
Para ulama fikih klasik telah menetapkan syarat-syarat akad yang harus dipenuhi agar akad itu sah. Diantaranya adalah bahwa pada waktu akad dibuat barang akad harus sudah ada pada penjual. Artinya, jika barang tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak dapat diserahkan, maka jual belinya tidak sah. Ada beberapa pendapat ulama tentang hal ini, diantaranya:
  1. Al-Kasani (w 587/1190), seorang ulama terkenal dari madzhab Hanafi, berpendapat: “Adapun syarat yang berkaitan dengan obyek akad ada beberapa macam, diantaranya adalah hendaknya obyek itu ada (pada waktu akad); tidak terjadi jual beli atas barang yang tidak ada atau kemungkinan tidak ada.”
  2. Asy-Syirazi (w 476/1083), tokoh ulama madzhab Syafi’i, mengatakan: “Tidak boleh menjual barang yang belum ada seperti buah yang belum keluar berdasarkan hadits Nabi Saw dari Abu Hurairah bahwa beliau melarang jual beli garar.” Asy-Syairazi juga mengatakan: “Tidak boleh menjual barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung di udara..... dan benda yang sedang di tangan perampas”.
Terdapat beberapa kemungkinan yang mengenai ada dan tidak adanya obyek pada waktu penutupan akad sebagai berikut :
  1. obyek ada secara sempurna pada waktu penutupan akad;
  2. obyek ada secara belum sempurna pada waktu penutupan akad;
  3. obyek tidak ada sama sekali pada waktu penutupan akad, akan tetapi dipastikan ada dikemudian hari;
  4. obyek tidak ada atau ada sebagian, akan tetapi tidak dapat dipastikan adanya secara sempurna di kemudian hari;
  5. obyek absolut tidak ada pada waktu penutupan akad, dan tidak mungkin ada di kemudian hari.[8]
Dari kemungkinan-kemungkinan di atas jelaslah bahwa kemungkinan pertama adalah sah, sedangkan kemungkinan kelima adalah tidak sah. Sedangkan terhadap tiga kemungkinan lainnya ada beberapa pendapat dari beberapa madzhab yanng berbeda-beda.
Rumusan tentang larangan memperjualbelikan “barang yang belum ada pada waktu akad (transaksi)” ini oleh fuqaha ditafsirkan secara terlalu meluas sehingga membuat fikih Islam tertinggal dan tidak memenuhi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dalam lapangan transaksi. Hingga pada akhirnya tidak sedikit transaksi yang tidak dilaksanakan terutama pada era modern ini yang kebanyakan pola transaksinya tidak menggunakan sistem cash  baik dari segi uang maupun barangnya, melainkan menggunakan surat-surat atau media berharga lainnya.
Dalam merespon perkembangan dan tuntutan kehidupan masyarakat yang menghendaki bahwa dalam beberapa kasus akad yang belum ada obyeknya, seyogyanya dipandang sah agar kepentingan ekonomi dalam kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Atas dasar itu para ahli hukum Islam di zaman lampau  memberi pengecualian beberapa jenis akad khusus, yaitu akad salam, akad sitisnak, dan akad sewa menyewa.
Ibn al-Qayyim (w 751/ 1350), seorang ulama besar dari madzhab Hanbali, misalnya, mengkritik cara rumusan fikih yang terlalu saklek. Beliau berpendapat bahwa tidak benar  jika jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Tidak ada larangan yang demikian baik dalam al-Qur’an, Sunnah maupun fatwa para sahabat. Dalam Sunnah Nabi Saw hanya terdapat larangan menjual beberapa barang yang belum ada sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis (‘illat) larangan tersebut bukan ada atau tidaknya barang  melainkan garar, yaitu ketidakpastian tentang apakah barang itu dapat diserahkan atau tidak. Berdasar pendapat ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sekalipun barang yang ditransaksikan tidak ada pada saat transaksi berlangsung, tetapi dapat diadakan pada saat yang dibutuhkan berdasarkan transaksi, dan bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah.
Atas dasar penafsiran Ibn al-Qoyyim tersebut beberapa ahli hukum Islam kontemporer seperti Muhammad Yusuf Musa, dari Universitas Cairo, dan Muhammad Hashim Kamali, dari Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, menyatakan bahwa transaksi tersebut, yang kemudian juga dikenal dengan istilah kontrak berjangka adalah sah menurut hukum Islam, meskipun objek akadnya belim ada pada waktu dibuatnya kontrak tersebut. Hal itu karena adanya jaminan bahwa di dalam kontrak tersebut tidak ada unsur garar, sebab adanya Lembaga Kliring Berjangka, misalnya, dapat menjamin terselenggaranya transaksi kontrak berjangka yang teratur, wajar, efesien, dan transparan.
Sedangkan Y-suf M-sa dalam karyanya al-Bay’ wal al-Mu’ammalat al-maliyyah al-Mu’ashirah (1954) telah membahas masalah ini dalam kaitannya dengan Bursa Berjangka Iskandariyah, Mesir, yang memperdagangkan kapas sebagai salah satu hasil pertanian utama di Mesir.
Dalam uraiannya Y-suf M-sa antara lain menganalisis apakah kontrak berjangka dapat dimasukkan ke dalam kontrak (akad) salam dalam fikih. Analisisnya menyimpulkan bahwa kontrak ini tidak sama dan oleh karena itu tidak dapat dikategorikan sebagai salam, melainkan lebih merupakan akad jual beli. Sehingga beliau menyimpulkan bahwa: “kontrak berjangka kapas di Mesir adalah sah secara syar’i dan tidak bertentangan sedikitpun dengan dasar-dasar dan asas-asas hukum fikih serta tujuan syariah yang senantiasa berupaya mewujudkan maslahat individu dan masyarakat serta berupaya memberikan kemudahan dalam muammalat”
Jadi terdapat dua pandangan ahli-ahli hukum Islam klasik terhadap larangan jual-beli yang tidak ada pada sesorang. Pandangan pertama, ini merupakan pandangan mayoritas fuqaha menyatakan bahwa tidak sah memperjualbelikan sesuatu yang belum ada. Pandangan kedua, yang ini minoritas dari Ibn al-Qoyyim dan beberapa yang lainnya menyatakan bahwa larangan jual beli yang belum ada itu bukan karena tidak adanya, melainkan karena tidak jelas apakah barangnya nanti dapat diserahkan atau tidak. Apabila barangnya belum ada tapi dapat diadakan dan diserahkan kemudian maka transaksi ini diperbolehkan
Mohammad Hashim Kamali, seorang fakih kontemporer lainnya dalam artikelnya yang berjudul  Islamic Commercial La: An Analysis of Futures” dan dalam bukunya Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures and Options”, berpendapat bahwa halangan-halangan syariah yang biasanya dikutip untuk menyatakan kontrak berjangka sebagai tidak sah secara umum didasarkan atas suatu premis yang menghubungkan antara jual beli berjangka dengan jual beli konvensional. Telah dikemukakan bahwa hal seperti ini tidak dapat dibenarkan, terutama karena prosedur-prosedur perdaganngan berjangka telah menyediakan jaminan yang kokoh untuk mencegah terjadinya garar sehingga ketidakpastian dalam penyerahan dan pembayaran dapat dieliminir. Dapat dikatakan bahwa pada asasnya perdagangan berjangka dapat dibenarkan dengan syarat kita ikut terlibat dalam proses yang berkelanjutan dalam usaha memperbaiki jaminan-jaminan lebih baik terhadap adanya penyalahgunaan, spekulasi dan garar.
.
E.     Kesimpulam
Larangan menjual objek yang belum ada dalam transaksi pada intinya maksudnya lebih tertuju pada pelarangan terhadap garar, yaitu ketidakpastian tentang apakah barang tersebut bisa diserahkan atau tidak. Jadi meskipun barang tersebut tidak ada, tetapi selagi ada kepastian bahwa barangnya bisa diadakan pada saat dibutuhkan sesuai dengan transaksi maka jual-beli tersebut sah. Sebaliknya, meskipun barangnya sudah ada, tetapi karena sesuatu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual-beli seperti itu tidak sah.
Pengetian fikih yang semacam ini menjadi sangat penting pada saat ini, dimana proses transaksi ekonomi berlangsung secara lebih kompleks, dengan melibatkan modal dan barang komoditi yang sangat besar. Disamping gejala semakin berkembangnya pasar derivatif yang lebih diminati oleh pemodal besar dibanding pasar spot.

Daftar Pustaka

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta; PT Raja Grafindo, 2007 
Syamsul Anwar, Hukum Ekonomi dan Muamalat Kontemporer, Jakarta: RM Books Rakyat Merdeka Group, 2007  
Syamsul Anwar: Hukum Kontrak Islam, Bahan Kuliah PPS UIN Sunan Kalijaga, 2010


 [1] Syamsul Anwar: Hukum Kontrak Islam, Bahan Kuliah PPS UIN Sunan Kalijaga, 2010, hal. 1
[2]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta; PT Raja Grafindo, 2007
 [3] Ibid, hal. 191
[4] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian...., hal.192.
[5] Syamsul Anwar, Hukum Ekonomi dan Muamalat Kontemporer, Jakarta: RM Books Rakyat Merdeka Group, 2007, hal. 198
 [6] Ibid, hal 199
 [7] Syamsul Anwar, Hukum ekonomi....., hal. 2002
[8] Syamsul Anwar, ...Hukum perjanjian..., hal. 194

No comments: