Hampir
sebagian besar definisi-definisi menyederhanakan perbankan Islam pada
pengertian bank ‘bebas bunga’. Meskipun perintah memerangi riba merupakan
landasan fundamental dari keuangan Islam, namun perdebatan mengenai signifikan
kata ‘riba’
tersebut secara tepat masih terus menerus terjadi. Sejak awal
masuknya Islam, mayoritas ulama sudah mengadopsi definisi riba yang ketat,
yaitu segala bentuk bunga dapat dikatakan sebagai riba. Walupun demikian, perdebatan
terus menerus berlangsung hingga sekarang. Beberapa pendapat termasuk para
tokoh tokoh terkemuka seperti Mufti Mesir, Muhammad Sayyed Atiyya Tantawi
menolak definisi tersebut dan beragumen bahwa Islam menoleransi suku bunga yang
wajar.[1]
Bagi ulama yang lain, pengharaman riba dipahami dalam kaitanya dengan
eksploitasi atas orang-orang tidak
beruntung secara ekonomi di masyarakat oleh orang-orang yang relatif
berlebihan. Elemen eksploitasi ini mungkin ya atau tidak benar-benar terjadi
dalam bunga bank modern.
Kontroversi
mengenai riba sampai saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda bakal mereda.
Beberapa ulama bahkan sampai ‘mengutuk’ diskusi-diskusi yang membahas
permasalahan tersebut. Seorang ulama pernah menuliskan: “Apabila teori-teori
dalam al-Qur’an bertentangan dengan teori-teori keilmuan modern, menurut hati
nurani saya, saya tidak menemukan alasan untuk mempermasalahkannya. Saya
benar-benar yakin bahwa keilmuan pada masa sekarang ini bisa menjadi sebuah
mitodologi
di masa yang akan datang, dan segala yang dikatakan di dalam al-Qur’an mungkin
belum bisa kita mengerti sekarang, tetapi pasti dapat menjadi lebih jelas di
masa yang akan datang”.[2]
Pada sisi lain, beberapa ulama mengabaikan semua pemahaman riba jaman
pertengahan dengan menganggapnya sebagai gagasan yang telah usang.[3]
Perdebatan
riba sudah didekati dengan berbagai aspek. Salah satu aspek diskusi yang
kontras berlawanan adalah mengenai bunga (interest) sebagai sebuah kewajaran,
yang secara ekonomi dijustifikasi sebagai suku bunga modal, dengan usury sebagai sebuah tindakan
berlebihan, yang bisa sampai berujung pada tingkat pemerasan. Beberapa ulama
berpendapat bahwa usury yang dapat
disebut sebagai riba. Mayoritas ulama masih mempertimbangkan bahwa segala
penambahan atau kenaikan jumlah uang yang dikembalikan oleh debitur dijustifikasi sebagai bentuk riba yang
dilarang menurut al-Qur’an.
Aspek
lainnya adalah persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh ekonomi modern. Dalam
beberapa dekade terakhir, keadaan darurat (darurah) dan kepentingan umum
(maslahah), menjadi dasar dan sudah berkembang baik di dalam praktik dan
kebiasaan para ulama-ulama Islam modernis dalam pengambilan keputusan. Seperti
yang dikatakan oleh Fazlur Rahman: “Selama masyarakat kita belum
direkonstruksikan pada dasar-dasar prinsip Islam, menghapus bunga bank adalah
tindakan yang akan mematikan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem
keuangan Negara serta dapat juga bertentangan dengan spirit dan maksud yang
terkandung di dalam al-Qur’an dan Sunnah”. [4] Senada dengan hal di atas, beberapa
ulama bahkan mengetengahkan isu-isu karakter ekonomi kontemporer yang
inflasioner. Larangan terhadap riba akan berlaku pada bunga yang sesungguhnya
(real interest), suku bunga dikurangi tingkat inflasi, yang dibedakan dengan
bunga nominal (nominal interest). Jika tidak, peniadaan bunga pada masa inflasi
akan meningkatkan bunga sesungguhnya menjadi negatif, menghukumi para kreditur
dan mensubsidi para debitur.
[1] Pemakalah
mengutip dari buku Islamic Finance: Keuangan Islam
dalam Perekonomian Global (terj), Ibarahim Warde, hal. 116
[2] Anwar Iqbal
Qureshi,
Islam and Theory of Interest, Lahore: Ashraf, 1974, hal. 4. Dikutip
dari Ibrahim warde, hal. 117
[3] Ziaul Haque, RIBA: The Moral Economy of Usury, Interest, and Profit, Selangor, Malaysia: ikraq, 1995. Juga
dikutip dari Ibrahim Warde, hal. 117
[4] Fazlur Rahman, “Riba and Interest” Islamic Studies:
Journal
of the Central
Institute
of Islamic Research,
Karachi, vol. 3, no.1, 1964, hal. 42
No comments:
Post a Comment