28 November 2014

Tingkat Bunga dan Riba Perspektif Islam


Hampir sebagian besar definisi-definisi menyederhanakan perbankan Islam pada pengertian bank ‘bebas bunga’. Meskipun perintah memerangi riba merupakan landasan fundamental dari keuangan Islam, namun perdebatan mengenai signifikan kata ‘riba’
tersebut secara tepat masih terus menerus terjadi. Sejak awal masuknya Islam, mayoritas ulama sudah mengadopsi definisi riba yang ketat, yaitu segala bentuk bunga dapat dikatakan sebagai riba. Walupun demikian, perdebatan terus menerus berlangsung hingga sekarang. Beberapa pendapat termasuk para tokoh tokoh terkemuka seperti Mufti Mesir, Muhammad Sayyed Atiyya Tantawi menolak definisi tersebut dan beragumen bahwa Islam menoleransi suku bunga yang wajar.[1] Bagi ulama yang lain, pengharaman riba dipahami dalam kaitanya dengan eksploitasi atas orang-orang tidak beruntung secara ekonomi di masyarakat oleh orang-orang yang relatif berlebihan. Elemen eksploitasi ini mungkin ya atau tidak benar-benar terjadi dalam bunga bank modern.
Kontroversi mengenai riba sampai saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda bakal mereda. Beberapa ulama bahkan sampai ‘mengutuk’ diskusi-diskusi yang membahas permasalahan tersebut. Seorang ulama pernah menuliskan: “Apabila teori-teori dalam al-Qur’an bertentangan dengan teori-teori keilmuan modern, menurut hati nurani saya, saya tidak menemukan alasan untuk mempermasalahkannya. Saya benar-benar yakin bahwa keilmuan pada masa sekarang ini bisa menjadi sebuah mitodologi di masa yang akan datang, dan segala yang dikatakan di dalam al-Qur’an mungkin belum bisa kita mengerti sekarang, tetapi pasti dapat menjadi lebih jelas di masa yang akan datang”.[2] Pada sisi lain, beberapa ulama mengabaikan semua pemahaman riba jaman pertengahan dengan menganggapnya sebagai gagasan yang telah usang.[3]
Perdebatan riba sudah didekati dengan berbagai aspek. Salah satu aspek diskusi yang kontras berlawanan adalah mengenai bunga (interest) sebagai sebuah kewajaran, yang secara ekonomi dijustifikasi sebagai suku bunga modal, dengan usury sebagai sebuah tindakan berlebihan, yang bisa sampai berujung pada tingkat pemerasan. Beberapa ulama berpendapat bahwa usury yang dapat disebut sebagai riba. Mayoritas ulama masih mempertimbangkan bahwa segala penambahan atau kenaikan jumlah uang yang dikembalikan oleh debitur  dijustifikasi sebagai bentuk riba yang dilarang menurut al-Qur’an.
Aspek lainnya adalah persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh ekonomi modern. Dalam beberapa dekade terakhir, keadaan darurat (darurah) dan kepentingan umum (maslahah), menjadi dasar dan sudah berkembang baik di dalam praktik dan kebiasaan para ulama-ulama Islam modernis dalam pengambilan keputusan. Seperti yang dikatakan oleh Fazlur Rahman: “Selama masyarakat kita belum direkonstruksikan pada dasar-dasar prinsip Islam, menghapus bunga bank adalah tindakan yang akan mematikan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem keuangan Negara serta dapat juga bertentangan dengan spirit dan maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Sunnah”. [4] Senada dengan hal di atas, beberapa ulama bahkan mengetengahkan isu-isu karakter ekonomi kontemporer yang inflasioner. Larangan terhadap riba akan berlaku pada bunga yang sesungguhnya (real interest), suku bunga dikurangi tingkat inflasi, yang dibedakan dengan bunga nominal (nominal interest). Jika tidak, peniadaan bunga pada masa inflasi akan meningkatkan bunga sesungguhnya menjadi negatif, menghukumi para kreditur dan mensubsidi para debitur.


[1] Pemakalah mengutip dari buku Islamic Finance: Keuangan Islam dalam Perekonomian Global (terj), Ibarahim Warde, hal. 116
[2] Anwar Iqbal Qureshi, Islam and Theory of Interest, Lahore: Ashraf, 1974, hal. 4. Dikutip dari Ibrahim warde, hal. 117
[3] Ziaul Haque, RIBA: The Moral Economy of Usury, Interest, and Profit, Selangor, Malaysia: ikraq, 1995. Juga dikutip dari Ibrahim Warde, hal. 117
[4] Fazlur Rahman, Riba and Interest” Islamic Studies: Journal of the Central Institute of Islamic Research, Karachi, vol. 3, no.1, 1964, hal. 42

No comments: