05 November 2010

Prilaku Konsumen (Islam)

BAB I
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bahwa didalam ekonomi Islam kebutuhan manusia terbatas, karena pemenuhannya disesuiakan dengan kapasitas jasmani manusia, misalnya makan, minum dan sebagainya. Kalau sudah merasakan perut kenyang makan kita tidak akan makan dan minum lagi.
Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa kebutuhan sebenarnya sangat terbatas. Jadi untuk hidup manusia perlu makanan yang sekedar bisa digunakan untuk memenuhi kapasitas perut. Sedangkan, yang tidak terbatas adalah keinginan, karena keinginan merupakan wujud pemenuhan kebutuhan manusia yang dipengaruhi faktor dari luar dirinya (preferensi), misalnya pengaruh keluarga dan lingkungan: promosi, iklan, sinetron, film dan sebagainya.
Menurut ekonomi Islam sumber daya tidak terbatas, Allah menciptakan alam semesta bagi manusia tidak akan habis-habis, karena di alam semesta ada potensi kekayaan yang sepenuhnya belum tergali oleh manusia. Oleh karena itu, manusia di tuntut untuk menggali kekayaan alam yang tidak ada batasnya, sehingga timbul sikap kreativitas dalam menemukan hal-hal baru guna memenuhi kebutuhan. Dengan melihat hal tersebut disini kami akan mengangkat beberapa pembahasan, dimana pembahasan yang perlu digali untuk mengupas permasalahan tersebut meliputi, perilaku konsumen, etika konsumsi dalam Islam, konsep Islam tentang barang dan dampak nilai Islam dalam berkonsumsi.
Dengan demikian dari permasalahan yang akan kita gali tersebut maka akan sangat bermanfaat bagi kita. Dan tidak kalah pentingnya kita akan mengetahui berbagai macam informasi dari pembahasan berikutnya di bab II.

BAB II
PEMBAHASAN
A.PERILAKU KONSUMEN
Islam mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam hal berkonsumsi.islam mengtur bagaimana manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatankonsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia lewat Al Qur`an da Al Hadist, supaya manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya.perulaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya akan menjamin kehidupan manusia lenih sejahtera.
Seorang muslim dalam berkonsumsi di dasarkan atas beberapa pertimbangan :
1.Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengtur detail permasalahanekonami masyarakat atau negara.terselenggaranya keberlansungan hidup manusia diatur oleh manusia.
2.Dalam konsep Islam kebutuhan yan membentuk pola konsumsi seorang muslim. Dinama batas-batas fisik merefleksikan pola yang digunakan seorang muslim untuk untuk melakukan aktivitas konsumsi, bukan pengaruh preferensi semata yang mempengaruhi pola konsumsi seorang muslim. Keadaan iniu akan menghindari pola hidup yang berlebih-lebihan, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga.
3.Perilaku berkonsumsi seorang muslim diatur perannya sebagai mahluk sosial maka dalam berperilaku dikondisikan untuk saling menghargaidan menghormati orang lain, yang perannya sama sebagai mahluk yang mempunyai kepentinganguna memenuhi kebutuhan.1

B.ETIKA KONSUMSI DALAM ISLAMKonsep Ekonomi Islam Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan uang/harta tanpa guna).
Penjelasan Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur'an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
Bila dikatakan kepada mereka, "Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu," orang-orang kafir itu berkata, "Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat."
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya :
"Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrâf (pemborosan) atau tabzîr (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarî'ah dia seharusnya diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.

C.KONSEP ISLAM TENTANG BARANGKonsep Ekonomi Islam Al Qur'an senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya, yaitu istilah at-tayyibat dan ar-rizq.
Penjelasan Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang adalah anugerah-anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Penelaahan terhadap Al-Qur'ân memberikan kepada kita konsep unik tentang berbagai produk dan komoditas. Al-Qur'ân senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya. Dalam hal ini dua macam istilah yang digunakan dalam Al-Qur'ân adalah (1). at-tayyibât dan (2) ar-rizq.
Istilah yang pertama, yaitu at-tayyibât, diulang-ulang sebanyak 18 kali dalam Al-Qur'ân. Dalam menerjemahkan istilah ini ke dalam bahasa Inggris, Yûsuf 'Alî secara bergantian mempergunakan lima macam frasa untuk menyatakan nilai-nilai etik dan spiritual terhadap istilah itu. Menurut pendapatnya, at-tayyibât berarti "barang-barang yang baik," "barang-barang yang baik dan suci," "barang-barang yang bersih dan suci," "hal-hal yang baik dan indah," dan "makanan di antara yang terbaik."2 Dengan demikian barang-barang konsumsi terikat erat dengan nilai-nilai dalam Islam, dengan menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis) dan tidak bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam Islam.
Istilah yang kedua, yaitu ar-rizq, dan kata-kata turunnya diulang-ulang dalam Al-Qur'ân sebanyak 120 kali. Dalam terjemahan Al-Qur'ân Yûsuf 'Alî kata ar-rizq digunakan untuk menunjukkan beberapa makna sebagai berikut: "Makanan dari Tuhan," "Pemberian Tuhan," "Bekal dari Tuhan," dan "anugerah-anugerah dari langit." Semua makna ini menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah Pemberi Rahmat yang sebenarnya dan pemasok kebutuhan semua makhluk.
Sebagai konsekuensinya, dalam konsep Islam, barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun spiritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan juga tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat Muslim. Karena itu, barang-barang yang terlarang tidak dianggap sebagai barang dalam Islam.
Marilah kita perbandingkan konsep Islam mengenai barang-barang konsumsi ini dengan konsep bukan-Ilahi mengenai pemanfaatan yang ada dalam ekonomi modern. Meskipun dalam ekonomi modern segala sesuatu memiliki manfaat ekonomik bila ia dapat dipertukarkan di pasar, dalam Islam merupakan salah satu syarat yang perlu tetapi tidak memadai untuk mendefinisikan barang-barang. Barang-barang seharusnya bermanfaat secara moral dan juga dapat dipertukarkan di pasar sehingga memiliki manfaat ekonomik3

D. DAMPAK NILAI ISLAM DALAM BERKOMSUMSI seorang muslim memperhatikan tehnis menyelenggarakan konsumsi yang berpedoman pada nilai-nilai islam. oleh karena itu, seorang muslim dilarang semata-mata menggunakan hawa nafsunya dalam berkomsumsi. Perilaku konsumsi seorang muslim didasari oleh kesadaran bahwa ia dalam memenuhi kebutuhannya tidak bisa dilakukan sendiri. Pertemuan yang berwujud transaksi merupakan keniscayaan bagi siapa saja yang mau hidup wajar. Kesadaran akan perlunya peran orang orang lain dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya mendorong sorang muslim untuk beresifat tawadhu.
Perilaku konsumsi dalam islam akan didasari pada nilai-nalai Al-Qur’an dan Al-Hadist akan berdampak kepada seorang muslim dalam beberapa hal :
Konsumsi seorang muslim didasarkan atas pemahaman bahwa kebutuhannya sebagai manusia terbatas, sebagaiman kepuasan digambarkan dalam utility fuction mengalami fenomena dimishing return. Seorang muslim akan mengkonsumni pada tingkat wajar dan tidak berlebihan. Tingkat kepuasan yang digambarkan kedalam indifference curve bagi seorang muslim diintrepretasikan sebagai kebutuhan, bukan sebagai keinginan.
Tingkat kepuasan tidak didasarkan atas banyaknya jumlah dari barang yang dipilih, tetapi didasarkan atas pertimbangan bahwa pilihan ini berguna bagi kemaslahatan. Oleh karena itu, seorang muslim tidak sekedar memperhitungkan besarnya jumlah barang yang diperoleh dari pemanfaatan yang diperoleh secara maksimal pengeluaran total, tetapi juga memperhitungkan skala prioritas dari berbagai barang yang akan diperoleh dari memanfaatkan pengeluaran total tersebut.
Seorang muslim tidak akan mengkonsumsi barang-barang haram atau barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti mengkonsumsi makanan dan menuman yang beralkohol, mengkonsumsi barang atau jasa hasil merampas, barang hasil menjarah, mencuri dan merampok. Mengkonsumsi jenis barang atau jasa tersebut bukan saja tidak boleh dari sisi fiqh, tetapi mengkonsumsi barang atau jasa tersebut akan menyuburkan perilaku-perilaku yang haram.
Seorang muslim tidak akan memaksa untuk berbelanja barang-barang yang diluar jangkauan penghasilannya. Walaupun ia dapat menambah penghasilannya dari utang atau kegiatan yang bersifat subhat, karena kegiatan ini akan menimbulkan : pertama, terkondisi untuk mempermudah masalah, kedua, mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena alasan gengsi (prestise), ketiga, akan menimbulkan kecemburuan sosial dan diskriminasi sosial.4

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN Konsumsi dalam merupakan pemanfaatan suatu barang dan jasa yang telah diproduksi.
Nilai konsumsi Islam :
Manusia tidak bisa berkuasa sepenuhnya mengatur perekonomian.
Konsep islam kebutuhan yang membentuk pola kunsumsi.
Dalam berkonsumsi seorang muslim harus menyadari Ia telah menjadi bagian masyarakat.

Dampak dari pada konsumsi seorang muslim :
Konsumsi harus didasarkan atas pemahaman bahwa kebutuhan sebagai manusia tidak terbatas,
Tidak akan mengkonsunsi barang yang haram,
Tidak akan memaksa untuk belanja barang diluar kemampuannya.

Refrensi
1. Heri Sudarsono, 2002, Konsep Ekonami Islam Suatu pengantar, hal. 152
2. Abdullah Yusuf `Ali, the trnslationof the holy qur`an, Washington, DC, tha muslim students` associationof the unied states and Canada, 1975,hal 31,231, 241, 348 dan 508. ...........
3. www.cybermq.com Op.cit,
4. Heri Sudarsono, Konsep Ekonami Islam Suatu pengantar, 2002. hal. 170
Daftar PustakaAbdullah Yusuf `Ali, the trnslationof the holy qur`an, Washington, DC, the muslim students` associationof the unied states and Canada, 1975
Heri Sudarsono, Konsep Ekonami Islam Suatu pengantar, 2002.
Kahf Monzer, ekonami islam (telaah analitik terhadap fungsi sistim ekonomi islam), putaka pelajar, yogyakarta, 1995
Metwally, teori dan model ekonomi islam, bakti daya insani, Jakarta, 1995.
Muhammad Nejatullah Siddiqi, the economic enterprise in islam, Lahore, Islamic publication, 1972.
www.cybermq.com

No comments: