17 December 2010

Hukum investasi pada saham


Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikatergorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam, seperti :
1. alkohol;
2. perjudian;
3. produksi yang bahan bakunya berasal dari babi;
4. pornografi;
5. jasa keuangan yang bersifat konvensional;
6. asuransi yang bersifat konvensional.

Bentuk kontrak kepemilikan dalam hukum Islam bisa berupa mudharaba atau musyaraka. Menurut (Achsien, 2000), Fiqh klasik berpandangan bahwa tidak boleh ada partner yang keluar dan/atau digantikan kecuali melalui penghentian atau likuidas partnership. Tujuannya adalah untuk menentukan secara persis dan final bagian yang dimiliki tiap pihak dalam kerjasama, untuk menyingkirkan kemungkinan uncertainty dalam penilaian asset yang dianggap gharar, Juga untuk kepentingan partner yang lain dalam keputusan untuk meneruskan usaha atau tidak dengan ataupun tanpa partner baru.
Untuk investor muslim, investasi pada saham (equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan investasi pada deposito, walaupun dikatakan dalam fiqih klasik bahwa equity tidak bisa dipersamakan dengan keuangan Islami seperti kontrak mudharabah atau musharakah. Ekuity dapat dijual kapan saja pada pasar sekunder tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al maal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib untuk statu periode tertentu, karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara ekuiti yang memungkinkan untuk dijual kapan saja tentunya lebih liquid dan lebih atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi progresif untuk membuat kontrak keuangan Islami menjadi lebih likuid.

Tetapi fiqih modern memajukan inovasi untuk hal ini yang belakangan juga sudah diterima secara luas. Sekuritas saham dipandang sebagai penyertaan dalam mudharaba partnership yang merefleksikan kepemilikan perusahaan (ownership of the entreprice), bukan saham partnership pribadi. Kepemilikan perusahaan ini kemudian disamakan dengan kepemilikan terhadap asset perusahaan. Setelah membuat asosiasi ini, perdagangan saham dapat dilakukan bukan sebagai model patungan usaha (sharika’aqd) tetapi dalam bentuk syarika milk atau kepemilikan bersama atas aset perusahaan. Konstruksi ini menguntungkan karena co-owners dapat menjual saham-nya pada pihak ketiga tanpa memerlukan persetujuan co-owner lainnya, atau melalui likuidasi terlebih dulu. Lagi pula, saat ini perusahaan memiliki durasi yang tidak terbatas dengan baragam proyek bisnis yang dilakukan.
Keberatan fiqih klasik bahwa penilai/penjualan ditengah masa usaha akan menimbulkan kemungkinan gharar-seperti halnya jual beli ikan dalam laut- dapat diatasi dengan praktek akuntansi modern dan adanya kewajiban disclosure laporan keuangan kepada pemilik saham. Dengan berbagai model valuasion modern saat ini, investor dam pasar secara luas, memiliki pengetahuan tentang nilai sebuah perusahaan, sehingga saham-saham dapat diperjual belikan secara wajar dengan harga pasar.Lagi pula market value tampaknya lebih mencerminkan nilai yang lebih wajar dibandingkan dengan book value. Dengan demikian, ditarik kesimpulan bahwa sekuritas-sekuritas dapat diperjualbelikan dengan menggunakan mekanisme pasar sebagai penentu harga. Dengan demikian , dapat memperoleh capital gain selain profit-sharing dari dividen.

Pedoman bertansaksi saham biasa yang sesuai dengan syariah adalah:
1. Menghindari gharar
Menurut Achsien, sebuah transaksi yang gharar dapat timbul setidaknya karena dua sebab utama. a. kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pada pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya control atau skill pada pihak yang melakukan transaksi. b. karena tidak adanya obyek. Ada pula yang membolehkan transaksi dengan obyek yang secara aktual belum ada, dengan syarat bahwa pihak yang melakukan transaksi memiliki kontrol untuk hampir bisa memastikannya di masa depan.

Sebagai institusi keuangan modern, pasar modal tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kesalahan. Salah satunya adalah tindakan spekulasi. Para ”investor” selalu memperhatikan perubahan pasar, membuat berbagai analisis dan perhitungan, serta mengambil tindakan spekulasi di dalam pembelian maupun penjualan saham. Aktivitas inilah yang membuat pasar tetap aktif. Tetapi, aktivitas ini tidak selamanya menguntungkan, terutama ketika menimbulkan depresi yang luar biasa.
Dalam pasar modal ini, dibedakan antara spekulan dengan pelaku bisnis (investor) dari derjat ketidak pastian yang dihadapinya. Menurut Agustianto, perlu dilihat dahulu karakter dari masing-masing investasi dan spekulasi:
Pertama, Investor di pasar modal adalah mereka yang memanfaatkan pasar modal sebagai sarana untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan Tbk yang diyakininya baik dan menguntungkan, bukan untuk tujuan mencari capital gain melalui short selling. Mereka mendasari keputusan investasinya pada informasi yang terpercaya tentang faktor-faktor fundamental ekonomi dan perusahaan itu sendiri melalui kajian yang seksama. Sementara spekulan bertujuan untuk mendapatkan gain yang biasanya dilakukan dengan upaya goreng menggoreng saham.
Kedua, spekulasi sesungguhnya bukan merupakan investasi, meskipun di antara keduanya ada kemiripan. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya terletak pada 'spirit' yang menjiwainya, bukan pada bentuknya. Para spekulan membeli sekuritas untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya kembali secara (short term). Sedangkan para investor membeli sekuritas dengan tujuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam bisnis yang lazimnya bersifat long term.
Ketiga, Spekulasi adalah kegiatan game of chance sedangkan bisnis adalah game of skill. Seorang dianggap melakukan kegiatan spekulatif apabila ia ditenggarai memiliki motif memanfaatkan ketidak pastian tersebut untuk keuntungan jangka pendek. Dengan karakteristik tersebut, maka investor yang terjun di pasar perdana dengan motivasi mendapatkan capital gain semata-mata ketika saham dilepas di pasar sekunder, bisa masuk ke dalam golongan spekulan (Sapta, 2002) dalam Agustiarto
Keempat, spekulasi telah meningkatkan unearned income bagi sekelompok orang dalam masyarakat, tanpa mereka memberikan kontribusi apapun, baik yang bersifat positif maupun produktif. Bahkan, mereka telah mengambil keuntungan di atas biaya masyarakat, yang bagaimanapun juga sangat sulit untuk bisa dibenarkan secara ekonomi, sosial, maupun moral.
Kelimat, spekulasi merupakan sumber penyebab terjadinya krisis keuangan. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas para spekulan inilah yang menimbulkan krisis di Wall Street tahun 1929 yang mengakibatkan depresi yang luar biasa bagi perekonomian dunia di tahun 1930-an. Begitu pula dengan devaluasi poundsterling tahun 1967, maupun krisis mata uang franc di tahun 1969. Ini hanyalah sebagian contoh saja. Bahkan hingga saat ini, otoritas moneter maupun para ahli keuangan selalu disibukkan untuk mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi tindakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para spekulan.
Keenam, spekulasi adalah outcome dari sikap mental 'ingin cepat kaya'. Jika seseorang telah terjebak pada sikap mental ini, maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan etika.

Karena itu, ajaran Islam secara tegas melarang tindakan spekulasi ini, sebab secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

No comments: