Paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi
hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia
dengan Tuhannya, dalam bahasa agama dikenal dengan istilah "hablum
minallah wa hablumminannas".
Dengan berpegang pada landasan ini maka
setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
"Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".
Sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru
terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan
urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk
berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja
keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang
bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah
akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba
Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian
serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah
pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits
maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
"Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping
persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor
lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu
sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang
benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun
untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan
sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan
etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk
bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan
keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar
dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis
semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti
Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme
serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa
diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika
ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat
Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan
pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini
malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan
bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan
kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan
besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen
dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Prinsip moral Islam yang
didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong
prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral
Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada
falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim,
jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar
bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis".
Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis,
Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan,
maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang
dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan
tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas
hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
"janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu
jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Dalam kehidupan ini setiap manusia memang
seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan
etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran
tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi
diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya
kita juga sedang meraih bisnis.
No comments:
Post a Comment