06 January 2011

Biografi Gus Dur Pak Kyai Nyleneh

Dalam kesehari-hariannya Abdurrahman Wahid dipanggil dengan nama Gus Dur. Gus merupakan kependekan dari kata Bagus, yang menurut budaya pesantren pemilik nama itu berdarah biru yaitu anak seorang kiayi. Panggilan Gus semula hanya popular dikalangan pesantran di jawa yang sering dikesankan feudal, justru kini menjadi cair, begitu egaliter, demokratis dan terkesan anti formalisme.

Gus Dur dilahirkan di Denanyar, jombang, tepatnya 4 agustus 1940, dari lingkungan pesantren dan sentral Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, mentri ahama pertama Indonesia, yang merupakan anak dari Syeh KH. Muhammad Hasyim Asy`ari, pendiri pesantran Tebuireng jombang dan pendiri organisasi terbesar islam, yaitu Nahdlatul Ulama. Ibundanya adalah Hj. Siti Shalekhah yang jga merupakan keturunan tokoh besar NU, KH. Bisri Samsuri. Dengan demikian Gus Dur secara genetic, berasal dari keturunan garis ayah dan ibu yang merupakan keturunan darah biru yang dalam budaya jawa menempati strata sosial tinggi. Setelah tamat sekolah rakyat di Jombang, Gus Dur melanjutkan ke SMEP (Sekolah Menengan Ekonomi Pertama) di Jakarta dan setahum kemudian pindah ke Yogyakarta sambil belajar di pesantran Krapyak. Selama di Yogyakarta Gus Dur tinggal di rumah H. Junaedi, yang merupakan seorang pimpinan local Muhammadiyah, yang sedikit banyak dari pergaulanya itu mewarnai kehidupan Gus Dur terutama dalam memahami perbedaam agama.

Setelah lulus STEM pada tahun 1975, Gus Dus memasuki dunia pendidikan agama secara inklusif, Gus Dur masuk pesantren Tegal Rejo di Magelang jawa tengah, dibawah bimbingan kyai Chudhari, Gus Dur mulai melakukan ziarah kebeberapa kuburan keramat para wali di Jawa. Hal ini dilakukan dengan ritual dan waktu tertentu, misalnya dengan menggunakan hitungan hari arab yang digabung dengan hitungan Jawa seperti jum`at legi. Pada kamis malam Gus Dur mengunjungi kuburang si Candi Mulyo untuk membaca Qur`an dan berdoa disana. Semua merupakan pengalaman yang mendalam dimensi spiritual Gus Dur. Setelah dua tahun bersama kiayi Chudhori, Gus Dur kembali ke jombang dan tinggal di pesantren Tambak Beras, di Tambak Beras Gus Dur telah menjadi Ustadz yang berarti santri seneor yang jaga mengajar.

Pada umur 22 tahun gus Dur berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah. Gus Dur memilih melanjutkan di Universitas Al Azhar, Universitas ini terkanal di Mesir. Nama lengkap Abdurrahman Wahid sebenarnya adalah Abdurrahan Ad Dakhil, namus kemudian popular dengan nama Abdurrahman Wahid. Kata yang terakhir diambil dari nama ayahnya KH. Wahid Hasyim. Ad Dakhil sendiri mengandung pengertian sang penakluk.

Penamaan Abdurrahman Ad Dakhil oleh orang tuanya tampaknya taa`ulan dengan Abdurrahman Ad Dakhil (Abdurrahman I) yang pernah memegang kekuasaan selama 32 tahun 726-788 di spanyol. Abdurraman Ad Dakhil dalam sejarah Spanyol adalah seorang pelarian yang menyeberangi daratan-daratan tandus dan bukit-bukit batu, memasuki negeri sebagi orang asing yang tersisih. Akan tetapi kemudian iaberhasil membangun kekuasaan, kemakmuran negeri, meyusun tentara dan mengatur pemerintahan.
Bila dilihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraannya menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat, rasanya tidak keliru kyai Wahid memberi nama Abdurrahman Ad Dakhil. Karena Gus Dur saat ini menjadi sosok penakluk. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang berkembang.
Abdurrahman Wahid yang nyeleneh, vikal dan kontroversi. Gayanya yang seperti pemain ketoprak ini oleh Abdurranman Wahid sudah dirajut semenjak dia mulai berkecimpung dalam discourse pemikiran pada awal 1970 an. Hanya saja setiap lontaran pemikirannya dipandang tidak lazim untuk zamannya, penuh kontroversi. Abdurrahman Wahid sebagi cendikiawan muslimpenuh kontroversi, nyeleneh. Dan predikat ini secara konsisten dipertahankannya hingga sekarang.

Predikat ini tampaknya cukup tepat, bila mengamati sikap dan pemikiran politik Abdurrahman Wahid, ssejak kemunculanya sebagai seorang scientic sampai kemudian menjadi actor politik (Politic Player) yang cukup mumpuni, atau sebagai politisi paling unggul di era 1990 an, Abdurahman Wahid nyaris selalu berseberangan dengan mainstream sebagai cendikiawan Islam.

Secara factual asumsi ini tidak bisa dibantah, hanya saja menurut Al Zastrow, bila dikaji lebih jauh apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid sebenarnya hal yang wajar dan biasa yterjadi dalam proses kehidupan. Jika dikatakan nyeleneh dan kontroversi itu lantaran keberanianya untuk berbeda dan keluar dari kelaziman. Ini diperkuat Emha Ainun Najib yang meyebutkan bahwa Abdurrahman Wahid sebagai orang gila dalam sejarah. Orang gila yang dimaksud Cak Nun adalah orang yang menggagas apa yang tidak dipikirkan orang lain, memikirkan apa yang tidak terpikirkan orang lain dan membayangkan apa yang tidak dibayangkan orang lain.

Sebelumnya, Gus Dur juga pernah melontarkan serbagai gagasan yang terbilang nyeleneh, katakanlah seperti mengganti Assalamu`alaikun menjadi selamat pagi, sore, atau malam ketika Menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI), membuka malam puisi Jesus Krestus di Gereja, sebagai katua Dewan Kesenian Jakarta, menjadi anggota MPR faksi FKP, menebas usulan-usulan FPP yang berusaha menisahkan agama dengan kepercayaan, kedekatannya dengan kelompok minoritas, terlebih Nasrani, menolak bergabung dengan ICMI, di kala sebagian basar umat islam mendambakan kehadirannya, termasuk juga keterlibatanny sebagai ketua di Forum Komunikasi (Fordem), serta sebagai kunjungannya ke Negara Zionis, Israel.

Sejak terpilih sebagai ketau PBNU, sikap Abdurrahman Wahid semakin kritis. Ketika melihat bangsa semakin terkotak-kotak oleh prilaku sektarianisme yang ditampilkan oleh segelintir orange lit bangsa ini, Gus Dur bersama sejumlah tokoh marjinal, mendirikan Kelompok Kerja (Pokja) Forom Demokrasi (Fordem).
Sikap Abdurrahman Wahid yang nyeleneh dan vocal, bagi sebagian warga Nahdliyin termasuk hal baru. Meski sebelumnya NU pernah mempunyai tokoh sekaliber Subhan ZE yang juga nyeleneh dan vocal. Subhan termasuk tokoh NU yang ingin mengeluarkan NU dari sikap Eksklusifnya, mempunyai konsep tentang nation konsep islam secara keseluruhan (Kaffah). Subhan juga selalu menekankan tema demokrasi di NU dari tradisi kekeluargaan. Mahbub Djunaidi melukiskan Subhan sebagai tokoh muda yang sering betrok dengan tokoh-tokoh tua yang menghendaki establishment. Ide-idenya terkadang terasa sangat aneh, bahkan sama sekali asing di telingan para kyai sepuh. Sangat disayangkan, Subhan harus mengakhiri karirnya di NU dengan pemecatan.
Abdurrahman wahid menikah dengan Siti Nuriyyah, gadis asal Tambakberas dan jaga santrinya sewaktu mengajar di pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Perkawinan Abdurrahman Wahid sendiri dilakukan melalui perkawinan wali atau perkawinan jarak jauh, tanggal 11 Juli 1968.

Saat kemunculannya di awal 1970 an, lewat pesantren sebagai subkultur, juga banya orang dibikin heran. Selama ini pesantren dipandang lamban beradaptasi dengan dunia modern. Terhadap pandangan ini Gus Dur member pembelaan bahwa itu menandakan kesanggupan sebuah struktur untuk bertahan dan kuatnya ikatan dengan kaum du`afa. Dan ini menurut Gus Dur masih dapat berubah, asal pendekatannya tepat, dan tentunya memperoleh legitimasi dari para kyai. Dengan kemampuannya, Abdurrahman Wahid juga mampu bergaul dengan kyai-kyai yang terbilang khairulquladah, karena mereka pada hakikatnya menatap dimensi lain dalam hidup, yang tak Nampak dengan cara pandang biasa. Katakanlah separti Gus Miek, kyai Sonhaji, dan mbah Liem. Gus Dur juga mampu meneropong figure masing-masing kyai dengan segala macam tipiloginya. Dengan sorotan kamera Abdurrahman Wahid berhasil menelurkan sebuah buku sosiologi kyai, meminjam istilah Mohammad Shobary, yang berjudul kyai nyentrik membela pemerintah.

Demikian latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid yang perlu dipahami untuk menyimak dan melihat pemikirannya. Nampaknya Gus Dur adalah prodak dari kombinasi kualitas personal yang khas kehidupannya diserap dari lingkungan keluarga dan penidikan yang dilalui sejak masa kanak-kanaknya. Kesimpulan kita dengan memahami sosiologi yang yang dilalui dalam hidupnya itu, kita dapat menangkap bahwa Gur Dur tidak hanya dibesarkan dan berkenalan dengan suatu dunia keislaman tradisional, meski dari segi nasab dan waktu belajar formal, tradisi ini yang paling dominan, tetapi sebenarnya lebig dari itu, dia adalah produk pengalaman hidup yang amat kaya dengan perbagai persentuhan nilai-nilai cultural yang kemudian secara dialektis mempengaruhi pemikiranya.

************************
Agar Lebih menarik mari kita baca Biografi Gus Dur Karya Gregory Barton....

No comments: